Sunartip Fadlan
Pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Mutawakkil Ponorogo
KECIK
Kecik dalam terminologi bahasa Jawa adalah biji dari buah sawo jenis Kecik. Namun dalam perkembangan peradaban Jawa ia kemudian dijadikan sebagai alat untuk pilihan suara era 80-an dan sebelumnya untuk mewakili suara pemilih terhadap bakal calon lurah/kepala desa.
Disimpulkan dengan Kecik menandakan bahwa jabatan itu sebenarnya sekecil kecik, maka tidak perlu terlalu dibela mati-matian hingga memecah persaudaraan. Apalagi sampai mati beneran atau menjadikan mati martabat pesaing atau orang lain.
Kecik juga interpretasi kebecikan (kemuliaan); jabatan hatus dibawa dalam kemuliaan kepada siapapun yang dinaungi, bukan malah tampil sebagai destroyer (perusak) sistem dan tata aturan kemasyarakatan yang berlaku.
Kecik juga simbolisasi harapan yang diharapkan tuwuh, tumbuh menjadi tunas yang kuat. Sekuat pohon sawo, akarnya menghujam ke dasar-dasar keberpihakan terhadap rakyat, batang pohonnya tangguh, tak mudah tumbang, bisa dimanfaatkan aneka kebutuhan. Dahan dan rantingnya menjulur kesegenap penjuru, menularkan keshalihan kepemimpinan kepada siapapun, termasuk kepada siapapun rakyat yang tidak memilihnya, bahkan kepada rival politiknya saat pemilihan.
Jika berbuah, sawo Kecik sudah bisa dimanfaatkan sejak pentil, sebagai obat diare. Kebijakan terkecil penguasa hendaknya bisa menjadi obat bagi “sakitnya” siapapun rakyat yang sedang “diare”. Jika sudah besar, ia pantas ditampilkan sebagai “hidangan” di meja-meja resmi jamuan penting, bahkan bisa dinikmati siapapun rakyat dalam strata apa saja.
Sawo jamak dipahami sebagai simbolisasi dari dawuh para Wali penebar Islam di tanah Jawa sebagai anjuran merapatkan shaf, dari nukilan hadits “shawwuu shufufakum fa inna tashfiyata-sh-shufufi min tamami-sh-shalah!” (Lurus-rapatkan barisan kalian, sesungguhnya lurus-rapatnya barisan ini benar-benar syarat dari kesempurnaan shalat).
Pemilu acap kali menjadi lahan terbeloknya shaf-shaf, bahkan shaf bisa bolong-bolong. Pejabat yang sedang menjabat lalu maju kembali dalam pemilihan berikutnya punya potensi tidak ditaati oleh lawan politiknya dan siapapun yang mengusungnya.
Pasca pemilu apapun perbedaan itu harus dihilangkan, disingkirkan oleh masing masing individu di wilayah itu untuk taat bersama dalam tata aturan yang mereka sepakati sebelumnya dalam menjalankan roda kepemerintahan.
Maka yang terpilih itulah yang harus ditaati, tidak boleh ada matahari kembar! Tidak boleh ada dua imam atau lebih dalam satu jamaah shalat. Makmum yang terlalu mendahului imam, atau sangat terlambat, atau malah berbeda dalam menjalankan syarat sah shalat bisa terancam batal shalatnya. Untuk imam atau pemimpin yang terpilih;
langkah Raden Bathorokatong pimpinan Wengker yang kemudian dialih namakan menjadi Ponorogo, bisa dijadikan kaca perbandingan. Betapa ia menata rapat-lurusnya shaff rakyatnya saat itu luar biasa. Semua dirangkul, kawan atau bekas lawan diayomi semua, dikumpulan di Goa Sigolo-golo selama 40 hari untuk dimintai pendapat dan menyamakan persepsi membangun Ponorogo jauh ke depan secara visioner.
APA HUBUNGANNYA DENGAN MENCUCI TANGAN DALAM WUDLU?
Imam Ghazali dawuh dalam kitab al-Bidayah al-Hidayah: hendaknya berdoa saat membasuh tangan kanan:
اللهم اعطني كتابي بيميني و حسابي حسابا يسيرا
“Ya Allah… anugerahkan kepadaku pemberian kitab (cacatan amalku) dari sisi kananku dan jadikan hisabku dalam perkenan hisabMu yang ringan.”
Untuk tidak menjadi pemangku amanah kekuasaan saja, hisab Allah SWT kelak di akhirat sangat detail, menyeluruh, tak terlewatkan satu hal pun. Apalagi bagi pemangku amanah kekuasaan, sungguh memangku amanah sekian banyak rakyat adalah beban yang teramat berat hisabnya.
Namun jika dilakukan dalam keadilan menuju ridla Allah, sungguh ia menjadi sosok yang dijanjikan naungan Allah di makhsyar di saat tidak perlindungan selainya dari Allah bersama enam kelompok manusia istimewa lainnya.
Di saat membasuh tangan kiri, Imam Ghazali berpesan agar orang yang berwudlu hendaknya berdoa:
اللهم إني أعوذ بك أن تعطيني كتابي بشمالي أو من وراء ظهري
“Ya Allah aku berlindung kepadaMu (jangan sampai) Engkau memberiku catatan amalku dari sisi kiri atau bahkan dari punggung belakangku.”
Sisi kiri adalah simbolisasi adanya amal baik, tapi catatan keburukan sangat dominan. Dari punggung belakang adalah simbolisasi kemurkaan Allah sehingga Allah tidak berkenan memandang hambaNya.
Semoga kita semua rakyat dimanapun berada selalu dalam lindungan Allah SWT. Bisa menitipkan “Kecik-Kecik amanah” kepada pihak yang tepat. Dan siapapun yang terpilih menjadikan kita tetap dalam shaf-shaf persatuan dan kesatuan berbangsa, bernegara dan beragama. Amin
Sumber: https://www.facebook.com/1579789234/posts/10217000915966659/?extid=bYJejLGzmAAPUXYN&d=n