NUonline Ponorogo – PCNU Ponorogo kembali menggelar ngaji rutin kitab Risalah Ahlissunnah waljamaah karya Hadratussyaikh KH.M. Hasyim Asy’ari dalam rangka Lailatul Ijtima’ PCNU Ponorogo, Kamis (26/3) malam.
Dr.H. Luthfi Hadi Aminudin, M.Ag Sekretaris PCNU tampil membacakan kitab babon NU tersebut pada pembahasan (fasl) taklid. Nampak hadir Rais PCNU KH. Moh. Solechan, Ketua PCNU Drs. H. Fatchul Aziz, MA dan jajaran pengurus harian dan lembaga.
Pada awal pembahasan Pak Luthfi menegaskan pendapat mbah Hasyim, orang yang tidak memiliki keahlian atau kapasitas untuk melakukan ijtihad secara mutlak, meskipun dia memiliki sebagian ilmu yang diperlukan dalam ijtihad, wajib bertaklid kepada pendapat para mujtahid dan mengikuti fatwa mereka.
“Jika (orang, Red) masih awam, ora usah kakehan polah (hahasa Jawa: tidak perlu banyak tingkah),” tegas Pak Luthfi disambut tawa seluruh yang hadir.
Selanjutnya Pak Luthfi membacakan alasan mbah Hasyim membolehkan orang awan bertaklid. Pada bagian ini, kebolehan taklid bagi orang awam menurut mbah Hasyim bertujuan agar ia keluar dari beban kewajiban bertaklid kepada salah satu dari mereka yang dikehendakinya.
Dalil yang menjadi sandarannya adalah firman Allah SWT pada surah an-Nahl ayat 43 yang artinya: “Maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
Pak Luthfi menggaris bawahi alasan mbah Hasyim hingga memperbolehkan taklid. “Jadi, Allah SWT mewajibkan bertanya bagi orang yang tidak mempunyai pengetahuan itu. Hal itu berarti taklid kepada orang yang mempunyai pengetahuan,” terangnya.
Selain dalil naqli, mbah Hasyim juga mengetengahkan alasan historis kebolehan taklid bagi orang awam. Dalam pendirian mbah Hasyim, terdapat ijma’ yang menyatakan bahwa orang-orang awam pada zaman sahabat, tabi’in dan setiap kemunculan orang-orang yang berseberangan senantiasa meminta fatwa kepada para mujtahid dan mengikuti mereka dalam memahami hukum-hukum syara’. Ini dalam penjelasan mbah Hasyim berikutnya, karena apa yang dipahami oleh orang awam dari Al Kitab (Al Quran) dan as Sunnah tidak dapat dijadikan sebagai pegangan apabila tidak sesuai dengan apa yang dipahami oleh para ulama besar pengusung kebenaran.
Disebutkan pula pada kitab mbah Hasyim, orang awam tidak wajib mengikuti madzhab tertentu dalam semua masalah secara konsisten. Jika ia mengikuti madzhab tertentu, seperti Madzhab Syafi’i, ia tidak wajib melakukannya secara terus-menerus. Ia boleh pindah ke madzhab lainnya. Mbah Hasyim membatasi orang awam yang dimaksudkan di sini adalah orang yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pengkajian atau penelitian dalil, dan tidak pernah membaca kitab tentang furu’ madzhab.
Di akhir pembahasan bab taklid, Mbah Hasyim menyinggung kebolehan taklid sesudah amal.
“Jika seorang penganut Madzhab Syafi’i melaksanakan shalat yang dia kira shalatnya itu sah menurut Madzhab Syafi’i, kemudian dia tahu bahwa shalat itu tidak sah menurut Madzhab Syafi’i, tetapi sah menurut madzhab yang lain, maka dia boleh bertaklid kepada madzhab tersebut dan cukup dengan shalatnya tersebut (tidak perlu mengulang).” tandas Pak Luthfi .
Pada sesi tanya jawab berkembang diskusi mengenai batasan kebolehan taklid. Rais PCNU KH. Moh. Sholehan ikut memberikan penegasan, seorang muqallid (orang yang bertaklid) boleh bertaklid kepada imam lain selain imam madzhabnya dalam masalah tertentu. “Jadi, ia boleh mengikuti imam tertentu dalam Shalat Dzuhur misalnya dan mengikuti imam lainnya dalam Shalat Ashar. Ini berarti masih pada satu qodliyah saja,” tegas Kiai Sholechan. (Idam)
Reporter: Idam
Editor: Budi