Dikisahkan suatu hari seorang ulama salaf bernama Abdullah bin Mubarak berangkat menuju ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Namun, ketika ia sampai di kota Kufah perjalannya terhenti beberapa saat hingga dirinya batal menunaikan ibadah haji. Sebab yang membuat Abdullah menghentikan perjalanannya adalah ia melihat kondisi miris seorang perempuan yang terpaksa mengkonsumsi bangkai itik. Tidak sendirian, perempuan itu juga mengajak anak-anaknya memakan bangkai itu sebagai santapan keluarga.
Untuk memastikan pemandangan itu, Abdullah sempat bertanya kepada perempuan itu “Apakah ini bangkai atau hasil sembelihan yang halal?“. “Ini bangkai, dan aku akan memakannya bersama keluargaku” jawab perempuan tersebut.
Melihat kondisi itu, Abdullah pun menegurnya beberapa kali bahwa tindakan seperti itu haram. Ternyata, nasehat itu gagal dan si perempuan justru menjawab dengan pengusiran. Abdullah merasa terheran-heran dengan kenyataan bahwa keluarga tersebut memakan bangkai karena alasan keterpaksaan, walau sudah dinasehati berkali-kali.
Hingga pada suatu hari, akhirnya perempuan itu menjelaskan perihal keadaan yang sesungguhnya kepada Abdullah. Wahai tuan “Aku memiliki beberapa anak. Selama tiga hari ini aku tidak mendapatkan makanan untuk menghidupi mereka”, kata perembuan itu.
Mendengar penjelasan itu, hati Abdullah bergetar. Ia lantas segera pergi dan kembali lagi bersama keledainya dengan membawa barang-barang bawaan seperti makanan, pakaian dan sejumlah bekal untuk disedekahkan kepada keluarga malang itu. “Ambillah keledai ini berikut barang-barang bawaannya. Semua untukmu”. Kata Abdullah kepada perempuan miskin itu.
Tak terasa, musim haji berlalu dan Abdullah kini tak memiliki bekal untuk melanjutkan perjalannanya ke Tanah Suci. Perjalannya tertunda beberapa lama di kota Kufah sampai musim haji lewat dan ia pun gagal menunaikan ibadah haji tahun itu.
Ketika tiba di kampung halamannya, Abdullah mendapat sambutan antusias dari masyarakat, laiknya sebagai orang yang baru datang dari ibadah haji. Mereka beramai-ramai memberi ucapan selamat atas ibadah hajinya. Abdullah pun protes bercampur malu, lantaran keadaan tak seperti yang disangkakan oleh para penyambutnya.
Ia pun berkata terus terang dan meyakinkan kepada para penyambutnya, “Sungguh aku tidak menunaikan haji tahun ini”.
Sementara itu, kawan-kawannya yang berhaji menyampaikan cerita lain. “Subhanallah, bukankah kami menitipkan bekal kepadamu saat kami pergi kemudian mengambilnya lagi saat kau di Arafah?” Sementara yang lain ikut menanggapi, “Bukankah kau yang memberi minum kami di suatu tempat?”. “Bukankah kau yang membelikan sejumlah barang untukku,” kata satunya lagi. Abdullah pun semakin bingung mendengar cerita itu.
Setelah peristiwa yang membingungkan itu, hingga suatu malam hari Abdullah mendapat jawaban melalui mimpinya. Abdullah mendengar suara, “Hai Abdullah, Allah telah menerima amal sedekahmu dan mengutus malaikat menyerupai sosokmu, menggantikanmu menunaikan ibadah haji.” (dinukil dari Kitab An-Nawâdir karya Syekh Syihabuddin Ahmad).
Kisah ini mengajarkan kepada kita tentang ketulusan, kebaikan, dan kepekaaan sosial Abdullah bin Mubarak terhadap orang lain yang sedang membutuhkan. Dengan penuh keikhlasan dan bertindak berdasarkan skala prioritas, Abdullah menyedekahkan seluruh perbekalan ibadah hajinya untuk membantu orang yang sedang dalam kondisi malang dan membutuhkan. Seorang Muslim hendaknya meneladani Abdullah dengan memperbaiki dan memperhatikan kondisi sosial di sekitarnya sebelum menunaikan ibadah haji.
Ibadah haji dengan segala kemuliaanya sangatlah tepat apabila digunakan sebagai media untuk merefleksikan diri atas kualitas ibadah sosial kita. Apalah artinya seseorang mampu menunaikan ibadah haji dengan tenang dan penuh hikmat, sementara dilingkungan sekitar kita masih ada seseorang dalam kondisi malang, kelaparan dan terabaikan karena kurangnya kepekaan kita.
Dalam momentum inilah, calon jemaah haji sebelum berangkat menuju ke Baitullah memiliki banyak kesempatan untuk memperbaiki ibadah sosial, dengan membantu sesama dan berbuat baik meringankan beban hidup orang lain yang sedang membutuhkan.
Bentuk kepekaaan sosial yang demikian menjadi salah satu pesan bermakna dalam setiap ibadah, termasuk ibadah haji. Kesempurnaan ibadah haji diawali dengan sikap pengorbanan dan kemampun menekan egoisme ritual ibadah secara personal, untuk mewujudkan kemaslahatan bagi sesama. Dengan nilai-nilai kebaikan itulah niscaya ibadah haji akan menggapai kemuliaan di hadapan Allah dan mencapai kualitas haji mabrur. Wallahu’alam bish shawab.
Ahmad Syafi’i SJ, M.S.I
Wakil Rais PCNU Ponorogo, Pengasuh Ponpes Ainul Ulum Pulung