NU PONOROGO

Official Website PCNU Ponorogo

Ansor Gajah Nguri-nguri Situs Leluhur

NU Online Ponorogo – Derasnya arus informasi dan teknologi justru memicu lahirnya kesadaran sejarah. Publik yang awalnya abai, kini mulai menyadari sejarah sebagai pangkal dari rantai pembentuk peradaban manusia. Hal ini setidaknya ditandai dengan maraknya kajian sejarah serta bertambahnya pegiat sejarah di berbagai pelosok bumi nusantara.

Tak terkecuali para kader Gerakan Pemuda Ansor di Desa Gajah, Kecamatan Sambit, Ponorogo. Para kader muda NU yang tinggal di desa yang berjarak sekitar 24 km dari arah kota Ponorogo ini mulai menggiatkan bidang sejarah. Salah satunya dengan nguri-nguri (menghidupkan dan melestarikan, Red) situs-situs peninggalan leluhur yang ada di desanya.

Alhamdulillah, sekarang ini sudah banyak anak-anak muda NU (Ansor, Red) yang mulai tertarik sejarah. Bahkan bulan puasa kemarin, mereka mulai melakukan ziarah rutin ke makam-makam aulia di sekitar sini,” kata Pujianto, aktivis NU yang juga pegiat sejarah.

Hal ini dibenarkan Wagiran, Ketua Pengurus Ranting GP Ansor Gajah. “Awal Ramadlan kemarin kita (PR GP Ansor Gajah, Red) sepakat untuk melakukan ziarah makam. Bulan lalu (10/5), kita mulai dari makam Syaikh Asruri di Ngrayun. Kita ke sana rombongan bersama kader Ansor, Banser, IPNU dan IPPNU serta sebagian perangkat desa,” terang Wagiran.

Kisah tentang makam Syaikh Asruri yang berada di puncak Gunung Luring, kata Wagiran, bermula dari Gus Muwafiq. Suatu ketika, Gus Muwafiq diundang sebagai penceramah di Kecamatan Ngrayun. Pas melintas di area 23 tak jauh dari lokasi pengajian, Gus Muwafiq melihat sekelebat cahaya berbentuk manusia melambaikan tangan.

“Singkat cerita, manusia bercahaya itu menyampaikan pesan kepada Gus Muwafiq agar mengungkap keberadaan waliyullah yang dimakamkan di situ. Namanya Syaikh Asruri. Tapi masyarakat setempat biasa menyebutnya dengan makam Kyai Baru Klinthing,” ungkap Wagiran.

Bagaimana dengan desa Gajah, adakah situs leluhur di sana? Pujianto menjawab ada. Bahkan lebih dari 1 situs. Bentuknya berupa makam, petilasan bahkan goa. Sebagian masih bisa dilihat, tapi sebagian lainnya hanya tinggal cerita tutur dari para sesepuh desa.

Salah satu situs berupa makam, yakni makam Eyang Joyo Karsa. Menurut cerita sesepuh desa yang dihimpun Pujianto, beliau adalah seorang sufi yang masih keturunan Paku Alam (Jogjakarta). Semasa hidupnya, Eyang Joyo Karsa pernah menanam kelapa. Tapi anehnya, yang ditanam adalah sepetnya (kulit, Red). Bukan isinya. Begitu juga nangka, yang ditanam bukan betonnya (isi buah nangka, Red).

“Anehnya, kedua pohon itu bisa tumbuh besar. Yang pohon nangkanya malah lebih ajaib lagi. Pohon itu ketika diambil getahnya oleh yang bukan keturunan Eyang Joyo Karsa, warnanya merah seperti darah. Sayangnya, kedua jenis pohon itu sudah punah sekitar tahun tujuh puluhan,” terang Pujianto yang kini menjabat sebagai Kamituwo di desanya.

Selain makam, lanjut Pujianto, ada pula petilasan bernama Sarean Gobok. Di bawahnya terdapat goa yang panjangnya hingga puluhan meter. Sampai sekarang, masih ada warga yang jadi saksi hidup keberadaan goa tersebut. Bahkan hingga masuk ke dalamnya. Tapi anehnya, goa itu sekarang sudah tidak ada.

“Masih banyak situs yang ada di Gajah. Beberapa di antaranya juga sering didatangi peziarah untuk melakukan ritual tertentu. Yang pasti, situs-situs itu sangat nyaman untuk bermunajat,” pungkasnya.

 

Reporter : Wiyoso

Editor : Lege

Informasi terkait:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *