Kisah pertemuan antara Kiai Ageng Muhammad Besari dan Sunan Paku Buwono II adalah salah satu episode penting dalam sejarah Jawa. Pada masa pergolakan di Mataram, Sunan Paku Buwono II terpaksa mengungsi ke Ponorogo. Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian, beliau mencari perlindungan dan bimbingan spiritual.
Ponorogo, dengan pesantren-pesantrennya yang makmur, menjadi pelabuhan bagi banyak tokoh yang mencari perlindungan. Sunan Paku Buwono II kemudian bertemu dengan Kiai Ageng Muhammad Besari di Pesantren Tegalsari. Kiai Ageng Besari, dengan kearifan dan keteguhan imannya, menyambut hangat kedatangan sang raja.
Selama mengungsi, Sunan Paku Buwono II tidak hanya sebagai seorang raja yang mencari perlindungan, tetapi juga sebagai seorang santri yang haus akan ilmu. Beliau belajar banyak hal dari Kiai Ageng Besari, mulai dari ilmu agama hingga strategi kepemimpinan. Kiai Ageng Besari, dengan bijaksananya, memberikan nasihat dan dukungan kepada Sunan Paku Buwono II.
Kiai Toyib Pilangrejo menceritakan, “Mbah Ageng nganggep Sinuwun pemimpine masio Sinuwun nganggep Mbah Ageng gurune.”
Mbah Ageng Besari menganggap Sinuwun sebagai pemimpinnya, tetapi sinuwun merendah menganggap Mbah Ageng gurunya. Beliau sama-sama saling menghormati dan memposisikan diri, menjadi ulama yang baik dan sebagai umaro yang baik. Sebagai murid yang beradab, dan sebagai guru yang welas asih.
Hubungan antara Kiai Ageng Besari dan Sunan Paku Buwono II merupakan contoh nyata dari simbiosis antara ulama dan umaro. Ulama, sebagai pemuka agama, memiliki peran penting dalam memberikan nasihat dan bimbingan kepada pemimpin. Sementara itu, umaro sebagai pemimpin, membutuhkan dukungan dan legitimasi dari ulama.
Pada masa itu, hubungan antara ulama dan umaro begitu erat. Ulama tidak hanya berperan sebagai pemuka agama, tetapi juga sebagai penasihat politik dan sosial. Mereka terlibat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam urusan pemerintahan.
Kiai Ageng Besari berhasil membangun hubungan yang harmonis antara ulama dan umaro. Beliau menunjukkan bahwa agama dan kekuasaan tidak perlu bertentangan, tetapi justru dapat saling melengkapi. Melalui hubungannya dengan Sunan Paku Buwono II, Kiai Besari berhasil menunjukkan bahwa seorang ulama dapat menjadi mitra sejajar bagi seorang raja.
Kisah Kiai Ageng Besari dan Sunan Paku Buwono II memberikan inspirasi bagi kita semua. Hubungan yang harmonis antara ulama dan umaro adalah kunci bagi terciptanya masyarakat yang damai dan sejahtera. Warisan sejarah ini mengajarkan kita pentingnya menjaga toleransi, saling menghormati, dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
Kepulangan Sinuwun Pakubuwono dikawal oleh Raden Bagus Harun murid Kiai Ageng Mohammad Besari.
Menurut Kiai Toyib masjid Coper, masjid Kiai Iskak atau juga dikenal sebagai Mesjid Odotan menjadi saksi peristiwa ini. Masjid Tegalsari lama yang bernuasa Mataraman tersebut dipindah dihadiahkan untuk anaknya (Kiai Iskak) di Coper. Sementara masjid Tegalsari bercorakan Kasunanan Surakarta seperti sekarang ini. Sebagai penghormatan kalau Tegalsari menjadi bagian dari wilayah Surakarta. Waktu itu Ponorogo sisi selatan (Bungkal, Sambit, Slahung sampai perbatasan Pacitan) bagian dari wilayah Kasultanan Yogyakarta.
Penulis: Nanang Diyanto
Jama’ah Thoriqoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah an Nadliyah Sanad Kiai Imam Muhadi, LKNU, Perawat Kamar Operasi RSUD dr Harjono Ponorogo, Penulis di Kompasiana.