NU PONOROGO

Official Website PCNU Ponorogo

Islam Wasathiyah Dalam Perspektif Santri

Tim Redaksi menampilkan secara berkala tulisan dari pemenang Lomba Penulisan Artikel Populer bertema Santri dan Moderasi Keagamaan yang diselenggarakan PC ISNU Ponorogo dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional 2020. Berikut ini adalah artikel pemenang Juara III kategori pelajar / mahasiswa :

===========================================================================

Islam Wasathiyah Dalam Perspektif Santri

(Inspiring Generation and Appreciate Differences)

 

Indonesia merupakan negara yang di dalamnya terdapat banyak sekali kultur, kepercayaan dan budaya setempat. Hingga seiring berkembangnya zaman dan era modern, membuat budaya tersebut sebagian terkikis dan sebagian lagi menimbulkan konflik. Bagaimana sikap yang seharusnya ada pada masyarakat untuk menjaga dan melestarikan budaya tanpa menimbulkan perpecahan antar umat?. Dan apa pemahaman yang seharusnya ada pada masyarakat, terutama bagi santri di era milenial?. Yang harus membangun dengan kuat pondasi beragama di Nusantara, sekaligus mengapresiasi perbedaan dan menghargai setiap kultur yang berbeda.

Istilah santri sering kali diperbincangkan, lalu apa makna santri yang sesungguhnya? Menurut KH. Musthofa Bisri (Gus Mus), santri adalah murid seorang kyai yang dididik dengan kasih sayang untuk menjadi mukmin yang kuat (yang tidak goyah imannya oleh pergaulan, kepentingan, dan adanya perbedaan)”[1]. Di Indonesia sendiri, santri menjadi pelopor dan penggerak peradaban Islam. Mengatasi perbedaan, membina, dan mencerdaskan anak bangsa serta mencetuskan ide-ide mulia.

Meneruskan Semangat para ulama’ untuk mempersatukan bangsa Indonesia yang beragam agama, ras dan suku. Akan tetapi tetap berlandaskan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Pada era modernisasi, seseorang dituntut agar selalu mengikuti perkembangan zaman. Tidak terkecuali bagi sekelompok orang yang bertempat tinggal di pesantren, tetap harus menjadi tauladan yang baik bagi bangsa. Dan santri bukan berarti buta teknologi, mereka bisa mengembangkan pemikiran serta berdakwah dengan media yang tersedia di era sekarang.

Umat muslim sejatinya tidak mudah terpengaruh oleh hal apapun yang menyimpang dari ajaran jika mempunyai akidah serta keyakinan yang kuat. Sebagai contoh kisah dari KH. Hasyim Asy’ari, atau pendiri organisasi Islam Nahdlotul Ulama’. Jiwa nasionalisme dan cinta tanah air tetap diajarkan oleh beliau kepada santrinya. Beliau tidak tunduk kepada Jepang atau Belanda, Beliau menyerukan agama dan ukhuwah islamiyah. Beliau juga menolak ketika Belanda akan memberikan gelar bintang perak atas jasanya mengembangkan pendidikan Islam.

Begitu juga ketika perlawanan kepada Jepang. Pada saat Jepang menerapkan kebijakan seikerei, yaitu ritual membungkukkan badan kepada kaisar Jepang Tenno Heika, cara membungkuknya seperti rukuk ketika sholat. KH. Hasyim Asy’ari memberikan fatwa haram akan hal tersebut[2]. Beliau menyampaikan dakwah agama dengan nasionalisme dan kebangsaan. Seluruh santrinya tersebar ke berbagai daerah. Dan untuk menyatukan jaringan intelektual, beliau mendirikan organisasi Islam Nahdlatul Ulama’ pada tahun 1926.

Lalu, masih ingatkah tentang dakwah Walisongo di tanah Jawa? Pada masa itu, masyarakat Indonesia menganut agama Hindu, dinamisme, dan atheisme. Demi terciptanya perdamaian antar umat, beliau menggabungkan budaya mereka, hanya merubah keyakinan mereka dan merubah bacaan atau ucapan ketika berdo’a. Tidak menghilangkan keseluruhan adat dan budaya mereka. Misalnya acara kenduri, sebenarnya ritual kenduri adalah budaya orang zaman dulu. Namun hanya merubah tata cara dan lafadz/bacaan ketika kenduri berlangsung. Dan sampai saat ini menjadi budaya yang melekat di tanah air.

Tahap pertama Walisongo dalam berdakwah adalah mendirikan masjid. Masjid tersebut sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya Islam. Antara lain, Masjid Ampel yang didirikan oleh Sunan Ampel, Masjid Drajat yang didirikan oleh Sunan Drajat, dan lain sebagainya. Lembaga Islam lainnya yang menjadi pusat perkembangan Islam adalah pesantren. Lembaga tersebut dapat mengajarkan Islam hingga ke pelosok Nusantara.

Banyaknya pro kontra tentang ajaran atau akidah yang dilakukan oleh kalangan masyarakat, hingga menimbulkan suatu perpecahan antar umat. Misalnya pro kontra tentang mengadakan tahlilan, mayoritas warga Indonesia menganut madzhab Syafi’i, namun ada juga yang menganut madzhab lain. Tahlilan banyak dilakukan oleh penganut madzhab Syafi’i. Tahlilan merupakan bermunajat dan berdzikir kepada Allah SWT yang di dalamnya terdapat kalimat-kalimat thayyibah dan shalawat. Berkumpul dan mendo’akan orang yang sudah meninggal dunia. Tradisi ini disebarkan oleh Walisongo dan bertahan hingga saat ini.

Dari contoh KH. Hasyim Asy’ari dan dakwah Walisongo, apakah benar orang yang disebut sebagai teroris dan radikalis berasal dari agama Islam? Sedangkan Islam sendiri mengajarkan akan kedamaian dan ketentraman antar sesama. Semua agama juga mengajarkan tentang perdamaian, tidak satu pun agama mengajarkan kekerasan pada pemeluknya. Namun, ada sebagian kelompok intoleransi yang menyimpang dari ideologi. Memanipulasi agama untuk mencapai tujuan mereka. Lalu bagaimana cara menyikapi paham tersebut?. Hendaklah memahami agama secara wasathiyah atau moderat. Pemahaman secara moderasi dapat membentengi diri dari paham yang melenceng tersebut. Karena di Indonesia sendiri menganut berbagai agama yang hidup secara rukun, dan toleran antar sesama.

Ajaran Islam juga tidak ekstrim dan mengekang pemeluknya. Tidak mengajarkan kekerasan atau bahkan pemaksaan dalam berdakwah dan mengajak menjadi mu’alaf. Pemahaman secara kontekstual sangat penting di masa sekarang tentang moderasi beragama. Banyaknya adat istiadat dan berbagai macam kultur di Indonesia dapat memecah belah antar umat, kecuali jika terdapat rasa Nasionalisme, pemahaman beragama secara moderat, dan tasamuh atau toleran.

Sebagai pelopor penggerak generasi moderat dan milenial, hendaklah santri memahami betul arti Islam yang sesungguhnya. Di Indonesia sendiri penduduknya mayoritas beragama Islam, di samping itu juga ada penduduk non muslim. Tetapi di negara demokrasi ini mempunyai ideologi yaitu Pancasila. Ideologi tersebut menjadi pedoman kehidupan masyarakat. Jadi, agar tetap menjaga persatuan dan kesatuan hendaklah berdakwah menggunakan teori dan cara yang benar. Tidak menjudge dan merasa benar dengan semua yang dilakukan.

Pro kontra yang terjadi antar kalangan masyarakat menjadi agenda tersendiri untuk lebih memahami arti pentingnya moderasi. Jika di zaman dahulu mayoritas warga Indonesia beragama Hindu, atheis dan dinamis, lalu tidak adanya penyebaran Islam oleh para pedagang Gujarat dan Walisongo, kemungkinan besar hingga saat ini kepercayaan dinamisme, atheisme dan Hindu menjadi mayoritas di negeri ini. Cara menyebarkannyapun tanpa anarkis dan frontal, tidak menghilangkan budaya asli tapi hanya memperbaiki tata cara pelaksanaan, kalimat, dan do’a yang diucapkan.

Jadi, sebagai pelopor perdamaian hendaklah menghargai kepercayaan dan keyakinan masing-masing individu. Termasuk dalam cara berpakaian, masyarakat Indonesia menganut berbagai madzhab, jadi harus saling menguatkan dan menghargai. Cara pandang yang berbeda mengakibatkan perpecahan antar umat. Hendaklah menghargai setiap pemikiran individu dengan individu lainnya atau dengan kata lain, pemahaman secara moderasi. Tidak merasa paling benar. Tetapi berusaha menjadi manusia yang lebih baik dari hari ke hari, bermanfaat bagi bangsa dan negara, menghargai perbedaan dan keyakinan masing-masing individu. Generasi muda lah yang seharusnya menjadi pelopor perdamaian dalam bermasyarakat dan beragama. Santri cinta demokrasi dan menciptakan perdamaian demi berlangsungnya kehidupan berbangsa dan bernegara. Saling mengapresiasi dan menghargai perbedaan.

 

AISYAH

Informasi terkait:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *