NU PONOROGO

Official Website PCNU Ponorogo

Jimat NU Harus Dihidupkan

Seminar dan Bedah Buku bertajuk Menghidupkan Nilai-Nilai Kecendekiawanan, Keberagamaan dan Kebangsaan Gus Dur yang diprakarsai PC ISNU Ponorogo, Sabtu (31/10) malam

NU Online Ponorogo – Sosok KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur adalah jimat bagi Nahdlatul Ulama, sekaligus jimat bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai jimat NU, karena pembelaan Gus Dur atas paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjadi teladan bagi pengikut Aswaja di seluruh dunia. Dan sebagai jimat NKRI, merujuk pada kecintaan dan pembelaan Gus Dur terhadap bangsa dan negaranya sendiri yang diakui hampir seluruh negara di dunia. Karena itu, pemikiran Gus Dur harus terus digali dan dihidupkan.

Demikian disampaikan Ketua PCNU Ponorogo Drs. Fatchul Azis, M.A., saat menjadi keynote speaker dalam acara Seminar dan Bedah Buku bertajuk Menghidupkan Nilai-Nilai Kecendekiawanan, Keagamaan dan Kebangsaan Gus Dur, Sabtu (31/10) malam. “Kecendekiawanan, Keagamaan dan Kebangsaan dari Gus Dur ini nomer wahid. Diakui dunia. Sehingga dalam catatan saya, Gus Dur ini adalah jimatnya NU dan sekaligus jimatnya Indonesia,” kata Fatchul Azis.

Acara yang diprakarsai PC ISNU Ponorogo dalam rangka Hari Santri Nasional (HSN) Tahun 2020 ini menampilkan 4 narasumber. Yaitu Ketua PW ISNU Jatim Prof. H.M. Mas’ud Said, Ph.D., M.M., editor buku berjudul Goro-goro Menjerat Gus Dur Dr. Ahmad Zainul Hamdi, M.Ag., Dr. Aksin Wijaya, M.Ag., dan Rektor Institut Agama Islam Al-Falah Assuniyah (Kencong, Jember) Rizal Mumazzziq, M.H.I. Acara dimoderatori penggerak Jaringan Gus Durian Ponorogo Dr Murdianto, M.Si.

Dalam paparannya sebagai pembuka acara, Fatchul Azis banyak menyoroti sumbangsih Gus Dur. Baik untuk NU, maupun dalam kapasitasnya sebagai kader bangsa. Sebagai tokoh NU, Gus Dur telah mempraktekkan pilar Aswaja an-Nahdliyah. Yakni tawasuth (selalu berada ditengah-tengah pergumulan), i’tidal (tegak dan istiqomah), tawazun (selalu berbuat adil kepada siapapun), tasamuh (toleran atau demokratis) serta amar ma’ruf nahi munkar (selalu mengajak kepada kebaikan). Gus Dur juga berhasil mengurai berbagai problem NU. Di antaranya krisis orientasi, disfungsionalisasi organisasi, krisis ideologi, krisis mental, dan krisis kepemimpinan. “Gus Dur juga menginginkan agar NU memiliki kemandirian, harga diri, keyakinan, strategi, kuat, berkarakter dan tidak pragmatis,” tegasnya.

Sementara itu, Mas’ud Said lebih banyak mendorong kader NU, khususnya kader ISNU, agar aktif mengambil peran dalam proses perubahan. Berdasarkan pengamatannya, saat ini dunia sedang mencari patron. Amerika dan Eropa dalam beberapa waktu terakhir, mulai kehilangan pamor. Di saat bersamaan, Indonesia dipandang dunia memiliki potensi pengembangan demokrasi. “Indonesia itu sekarang disebut sebagai the school of democration (sekolah demokrasi, Red),” terangnya.

Ironinya, kata Mas’ud, dunia masih memandang minor terhadap Indonesia yang mayorits beragama Islam. Sampai hari ini, persepsi barat atas Islam belum banyak berubah. Islam dianggap dekat dengan terorisme. Islam di mata barat juga masih dianggap tidak sejalan dengan modernisasi. Padahal sebaliknya, Islam di Indonesia mempunyai potensi yang luar biasa. “Saya yakin nanti tahun 2045, Indonesia berpeluang menjadi the biggest nastion (negara terbesar dunia, Red),” tandas Mas’ud dengan optimis.

Hal senada juga diungkapkan Aksin Wijaya. Salah satu penulis buku Goro-Goro Menjerat Gus Dur ini merujuk pada profil Gus Dur sebagai representasi Islam Indonesia. Meski terpaksa harus dijatuhkan dari kursi presiden melalui proses politik, sosok Gus Dur menunjukkan seorang pemimpin yang berkarakter. Pemimpin yang memiliki visi demokrasi yang kuat, sehingga menolak diajak kompromi hanya untuk mempertahankan kursi kekuasaannya. Sebaliknya, penjatuhan melalui rekayasa politik tersebut merupakan bukti kuatnya karakater kepemimpinan Gus Dur. “Para intelektual muslim besar dunia itu membiarkan dirinya menjadi korban, dari pada mengorbankan apa yang diyakininya,” kata Aksin.

Sementara Inung, panggilan akrab Ahmad Zainul Hamdi, lebih menekankan pada pentingnya sejarah sebagai pondasi dalam membentuk jati diri bangsa. Bangsa yang melupakan sejarah, tidak akan bisa mengambil pelajaran dari masa lalunya. Baik sejarah kesuksesan, maupun kegagalan. Ujung-ujungnya, bangsa itu akan kehilangan jati dirinya. Salah satu agenda penting dalah sejarah tentang pelengseran Gus Dur dari presiden. Pelurusan sejarah atas peristiwa ini harus terus dilakukan. Bahkan idealnya, bisa masuk salah satu materi dalam kurikulum pendidikan.

Menyinggung tentang jati diri bangsa, Rizal Mumazziq sebagai narasumber terakhir menghadirkan hasil pengamatannya. Menurutnya, jati diri bangsa ini sudah ditunjukkan oleh Gus Dur. Salah satu jati diri bangsa Indonesia adalah hadirnya suasana ger-geran. Dalam situasi segenting apapun, Gus Dur tidak pernah kehilangan selera humornya. “Kalau ada empat sampai lima orang Arab ngumpul, salah satunya pasti membacakan syair. Itu memang budaya mereka. Indonesia beda lagi. Kalau ada tiga atau lima orang Indonesia ngumpul, pasti salah satunya akan mengeluarkan candaan atau lawakan,” ungkapnya.

Meski menyampaikan paparan dari perspektif yang berbeda-beda, akan tetapi semua narasumber mengerucut pada satu hal yang sama. Bahwa, pemikiran-pemikiran Gus Dur harus terus digali dan didengungkan. Baik itu pemikiran di bidang sosial, keagamaan, hingga politik. Sebab Gus Dur adalah sosok yang pemikirannya melampaui jamannya sehingga masih tetap relevan untuk diperbincangkan sampai kapan pun.

 

Reporter/Editor : Lege

Informasi terkait:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *