Assalamualaikum warahmatullaahi wabarakatuh…
Bismillahirrahmanirrahim…
Shollallahu’alaa Muhammad…
Pemaknaan tentang haji oleh para sufi, salah satunya terlihat ketika mereka menafsirkan ayat haji dalam Al-Qur’an. Bagi para sufi , selain makna lahiriah, Al-Qur’an juga memiliki makna batiniyah. Inilah yang membuat penafsirannya menjadi unik dan terlihat sedikit aneh bagi orang biasa.
Satu di antara ayat yang berkaitan dengan haji adalah ayat 96-97 dari surah Ali Imran .
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذي بِبَكَّةَ مُبارَكاً وَ هُدىً لِلْعالَمينَ
Artinya: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang berada di Bakkah (Mekkah), yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.”
Dalam kitab Laṭāiful Ishārāt, ‘Abd al-Karim bin Hawazin al-Qusyairi, seorang tokoh sufisme abad ke-5 Hijriyah di Naisabur, saat menafsirkan ayat ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan rumah yang dijadikan tempat tawaf adalah hati. Dan tujuan dari hati manusia adalah Allah SWT. Dengan demikian, Kakbah atau Baitullah tidak sekadar dimaknai secara lahir. Akan tetapi, juga dimaknai secara simbolik yaitu sebagai hati manusia.
Mansur Al-Hallaj dalam Kitab Al-Ṭawāsin juga menafsirkan senada. Ia adalah seorang sufi yang dieksekusi di kota Baghdad karena keyakinannya. Ia pernah berkata: “Aku berhaji di rumahku. Di sana kutemukan Kakbahku.” Kakbah yang dimaksud oleh Al-Hallaj adalah hatinya, sebagai makna simbolik dari rumah Allah.
Laman Tafsir Al-Quran melansir, untuk memahami hal ini, terdapat hadis qudsi yang juga memaknai frasa ‘rumah Allah’ dengan makna simbolik, yaitu hati manusia. Disebutkan: “Langit dan bumi tidak akan meliputi Tuhan, tetapi cukup untuk Tuhan, hati hamba yang beriman.” Atau dalam hadis yang lain: “Rumahmu di dunia adalah hatimu, sudahkah kamu bersihkan rumahmu dari setan-setan yang kini menguasainya?”
Dengan demikian, rumah Allah ( Baitullah ) dapat dimaknai secara lahiriah dan batiniah. Sehingga, Kakbah lahiriah memang berada di dalam Masjidil Haram Kota Mekkah, namun Kakbah-Kakbah batiniah bertebaran pada setiap hati manusia.
Apakah kemudian pelaksanaan haji itu bisa sah dengan pemahaman makna batiniyah yang seperti itu? Pertanyaan ini akan dijawab oleh para ulama fiqih dalam kajian tata cara manasik haji.
Lanjutan dari ayat di atas, yaitu:
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Artinya: “Di dalam rumah itu terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqâm Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu), maka ia akan menjadi aman; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
Dalam kitab Al-Takwilāt Al-Najmiyyah fī Al-Tafsīr Al-Ishārī Al-Ṣūfī, Najmuddin Al-Kubro, mufasir sufi asal Persia, menjelaskan bahwa ayat ini memuat tujuan haji. Menurutnya, Allah menjadikan Kakbah dan haji hanya untuk-Nya. Adapun, rukun-rukun haji dan manasik seluruhnya adalah sebuah isyarat tersembunyi, yaitu isyarat bagi manusia untuk melakukan perjalanan fisik-spiritual (al-sair wa al-sulūk) menuju Allah SWT beserta adab-adabnya.
Selain itu, ia juga menjelaskan rahasia rukun-rukun haji. Baginya, Ihram bertujuan melepaskan diri dari jeratan dunia dan menyucikan manusia dari akhlak yang tercela. Wukuf di Arafah, sebagai pengakuan kelemahan hamba kepada Tuhannya dan berjanji menjadi hamba yang paling hamba. Adapun tawaf 7 putaran, merupakan upaya untuk mencapai tujuh tingkatan spiritual.
Selamat beraktifitas pada hari ini
Ya Allah… Bimbing kami tuk menuju jalan ridhoMu.. ya Allah, hanya ridhoMu yang kutunggu… amiin