NU PONOROGO

Official Website PCNU Ponorogo

PANCASILA BUKAN SEKEDAR PERNYATAAN POLITIK

Tanggal 1 Oktober merupakan hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia yang ditandai sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Menarik untuk membincang Hari Kesaktian Pancasila ini, utamanya jika dikaitkan dengan viralnya isu akhir-akhir ini, yaitu menguatnya paham komunisme di tengah-tengah masyarakat.

Negara, seperti kata Hegel, adalah wujud persinggungan antara kebebasan subyektif (subjective liberty) dan kebebasan obyektif (objective liberty) seluruh elemen dan komponen bangsa. Berpijak dari sini, kita bisa menegaskan bahwa pembentukan NKRI berdasarkan Pancasila adalah “titik temu pandangan” (meeting of mind) seluruh elemen dan komponen tersebut. Pemilihan Negara kesatuan dimaksudkan sebagai sarana mempersatukan wilayah nusantara yang terdiri dari ribuan pulau yang berjejer dari Sabang sampai Merauke. Dan penetapan Pancasila sebagai dasar negara adalah wahana mempertemukan kemajemukan nilai dan tradisi dari berbagai agama, suku, bahasa, dan budaya yang berbeda. Adalah tidak mudah bagi bangsa besar dan majemuk untuk sampai pada kesepakatan atau konsensus tentang landasan bersama (common platform) semacam ini. Hal ini dapat terwujud hanyalah karena adanya kelapangan dada dan tenggang rasa yang besar, serta kebersamaan dan wawasan kenegarawanan yang luas di kalangan para pendiri bangsa (the founding fathers).

Sebuah bangsa besar dan majemuk seperti Indonesia memang rentan terhadap perpecahan. Meskipun kemajemukan (pluralitas) dapat dipandang sebagai kekuatan di satu sisi, namun kemajemukan menyisakan kelemahan pada sisi yang lainnya. Kelemahan akan berwujud menjadi ancaman (challenges) jika unsur-unsurnya menampilkan egoisme, eksklusivisme, dan absolutisme.

Kemajemukan memiliki tendensi disintegratif jika tidak dapat dikelola secara baik dan ketiga orientasi tersebut tidak dapat dikendalikan. Pengalaman bangsa-bangsa menunjukkan bahwa kemajemukan tidak dapat dipandang secara taken for granted akan selalu terpelihara, karena konflik kepentingan mencuat sementara semen perekat tidak cukup kuat.

Maka, pluralisas meniscayakan adanya “landasan bersama” (common platform) dan “acuan bersama” (comman denomitator). Pancasila adalah common platform dan common denomitator bagi bangsa Indonesia. Meminjam bahasa agama, Pancasila dapat dipandang sebagai “kata tunggal pemersatu” (kalimatus sawâ’) bangsa Indonesia yang majemuk. Dalam hal ini, Pancasila lebih dari sekedar “pernyataan politik” (political statement), tapi juga sekaligus sebagai “pernyataan ideologis” (ideological statement).

Di tengah isu menguatnya paham komunis beberapa hari terakhir ini, menurut hemat saya, diperlukan adanya penyegaran pemahaman dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila guna menangkal isu tersebut. Dengan upaya penguatan nilai-nilai Ketuhanan yang berkebudayaan, kebangsaan yang berperikemanusiaan, serta demokrasi permusyawaratan yang berorientasi pada keadilan sosial, diharapkan Indonesia akan mampu menghadapi perkembangan baru dengan suatu visi global yang berkearifan lokal.

Lantas, bagaimana memperdalam pemahaman, penghayatan, dan pengamalan secara konsisten nilai-nilai yang terkandung pada setiap sila Pancasila pada setiap lapis bidang kehidupan berbangsa dan bernegara? Dalam kaitannya dengan ini, ada beberapa langkah yang mendsak untuk dilaksanakan.

Pertama, perlunya komitmen bersama untuk menjadikan Pancasila sebagai “ideologi yang hidup” (living ideology) yang mampu menginspirasi dan menjiwai segenap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara yang dikenal sangat plural. Dalam kerangka mewujudkan komitmen ini dan sekaligus mengatasi masalah pluralitas dalam komunitas negara bangsa serta menangkal isu paham komunis adalah dengan “mengaktualisasikan “emosi kebangsaan”. Tujuannya adalah guna menciptakan perekat sosial baru yang dapat mengintegrasikan kesatuan-kesatuan sosial yang berbasis pada entitas.

Kedua, diperlukan langkah yang oleh Kuntowijoyo (2001) diistilahkan dengan proses “radikalisasi Pancasila”. “Radikalisasi” dalam pengertian sebagai upaya pengakaran ideologi dengan cara: (1) mengembalikan Pancasila sebagai ideologi Negara, (2) mengembangkan Pancasila sebagai ideologi menjadi pancasila sebagai ilmu (dari madzhab ke manhaj), (3) mengusahakan Pancasila mempunyai kosistensi dengan produk-produk perundangan, dan koherensi dengan realitas sosial, (4) Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila sebagai pelayan kepentingan horizontal, (5) menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara, dan (6) mengamalkan nilai-nilai Pancasila melalui proses pendidikan dan pembudayan.

 

Ahmad Syafi’i SJ, M.S.I

(Wakil Rais PCNU Ponorogo)

Informasi terkait:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *