Judul Buku: Resolusi Jihad: Perjuangan Ulama’ dari Menegakkan Agama hingga Negara Penulis: Abdul Latif Bustami Penerbit: Pustaka Tebuireng, Tahun Terbit: 2015, Tebal Halaman: xviii + 235 hlm, Teks Bahasa: Indonesia, Peresensi: Abdul Azis Fatkhurrohman.
Peringatan Hari Santri Nasional (HSN) menjadi satu upaya pemerintahan Jokowi untuk mengenang perjuangan kaum santri yang turut andil mewujudkan dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Secara lebih spesifik, ingatan tersebut berkenaan dengan peristiwa Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari untuk seruan jihad melawan penjajahan tentara sekutu. Resolusi tersebut sekaligus sebagai “aksi” mempertahankan kedaulatan Indonesia pascaproklamasi yang hendak dirongrong.
Meski begitu, peristiwa besar tersebut ternyata mengalami sejumlah pergolakan dalam lintasan sejarah. Yaitu ketika beberapa pihak berupaya tidak mengindahkan catatan sejarah tersebut sebagaimana peristiwa-persitiwa lain yang dicatat (hlm. xiii). Lantas, bagaimana sesungguhnya fatwa resolusi jihad menjadi bagian yang terpinggirkan dalam lintasan sejarah Indonesia?
Jawaban dari pertanyaan di atas terjawab dalam buku Resolusi Jihad “Perjuangan Ulama: dari Menegakkan Agama hingga Negara”. Buku tersebut menggambarkan tentang sekelumit peristiwa yang terjadi. Tulisan yang disusun oleh Abdul Latif Bustami bersama tim sejarawan Tebuireng ini memaparkan berbagai sumber data ihwal bagaimana sejarah resolusi jihad terjadi. Buku setebal 236 ini juga menguraikan berbagai kejadian yang meliputi, sekaligus alasan pergolakan kelompok tertentu atas fatwa resolusi jihad KH. Hasyim Asy’ari.
Ijtihad Mengembalikan Sejarah
Dalam pengantar buku ini, KH. Salahuddin Wahid (Gus Sholah) menyampaikan agenda pembangunan museum Islam Nusantara KH. Hasyim Asy’ari. Selanjutnya, diadakannya seminar tentang materi, serta objek yang akan ditampilkan dalam museum tersebut. Dalam seminar yang digelar, salah satu narasumber berpendapat bahwa resolusi jihad dianggap tidak pernah terjadi (hlm. v).
Sontak kejadian tersebut menjadi latar belakang lahirnya proyeksi buku ini. Bahwa kontestasi narasi sejarah tengah terjadi. Instrumen kekuasaan menjadi bagian dominan dalam memfilter mana yang harus ditampilkan dan mana yang tidak. Menurut Abdul Latif Bustami, sejarah memiliki dua komponen, Pertama sejarah sebagaimana peristiwa itu terjadi. Kedua sejarah menurut penulis; (red: penguasa) (hlm, xii).
Sejarah menjadi objek multitafsir. Ia dapat menjadi instrument kekuasaan, yaitu dengan mengaburkan sebuah kejadian untuk menggiring opini publik dalam memandang sebuah realitas. Lahirnya berbagai kepentingan yang dalam istilah Bustami disebut sejarah yang apa adanya dan ada apanya.
Konteks Perlawanan Warga Pesantren
Kedatangan Jepang yang menggeser penjajahan Belanda awalnya memberikan harapan akan kehidupan yang lebih baik, mengingat antara Indonesia dengan Jepang masih sama–sama dari bangsa Asia. Di sini, Jepang belajar dari kelemahan Belanda, sehingga mereka cenderung berdamai dengan Islam. Meski tak lain tujuannya adalah memberikan basis pengekalan kekuasaan melalui keyakinan mayoritas.
Meski kemudian Jepang justru memperkeruh keadaan. Salah satu kebijakannya cenderung kontra produktif dengan kebijakan awal menggandeng barisan Islam. Karena di sisi lain, mereka melakukan penangkapan terhadap KH. Hasyim Asy’ari. Penangkapan itu justru menjadi pemantik emosi para santri untuk memberikan perlawanan pada Jepang.
Usai peristiwa penangkapan dan melihat reaksi umat Islam, pemerintah Jepang berubah 180 derajat sikapnya kepada umat Islam. Mereka bahkan sempat menggelar resepsi permintaan maaf, dengan mengundang ulama Jawa dan Madura, termasuk KH. Hasyim Asy’ari sendiri.
Setelah terjadinya peristiwa diskriminatif terhadap masyarakat dan umat Islam, para tokoh pergerakan (khususnya dari tokoh Islam) melihat adanya kesamaan Jepang dengan penjajah Belanda. Imbasnya, masyarakat Indonesia pra kemerdekaan runtuh harapannya kepada Jepang, yang sempat berharap Jepang akan memberikan kehidupan yang lebih baik. Maka sejak itu, tersusunlah politik perlawanan yang lebih halus dan bersifat kooperatif dari masyarakat (hlm. 134).
Tercetusnya Resolusi Jihad
Upaya kooperatif yang kemudian dimanfaatkan oleh umat Islam, salah satunya ialah izin menggiatkan kembali organisasi keagamaan NU dan Muhamadiyah, meskipun dua organisasi itu sesungguhnya secara yuridis tidak pernah dibubarkan.
Lalu paparan proses pergerakan pesantren selanjutnya, seakan–akan menggambarkan perjuangan keras dan memberikan persepsi garang yang kontradiktif dengan bentuk awal yang akomodatif terhadap kebijakan penjajah. Hal ini harus dipahami dari status wilayah yang dijadikan landasan KH. Hasyim Asy’ari yang dikenal dengan istilah Darul Harb dan Darul Islam.
Penjelasan Darul Islam yakni dimulai pasca pendudukan Jepang di Indonesia yang memberikan ruang kebebasan kepada umat Islam untuk menggelar praktik ibadah dan tidak membatasi eksistensinya.
Adapun fatwa KH. Hasyim Asy’ari yang kemudian menjadi sebuah resolusi jihad merupakan respon dari berubahnya status Indonesia dari Darul Islam menjadi Darul Harb. Peristiwa itu terjadi pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, yang mana status Indonesia telah berubah menjadi negara merdeka dan berdaulat penuh.
Karenanya, perlu sikap ‘radikal’ dalam mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan sebuah wilayah. Mempertahankan suatu wilayah kekuasaan harus dipertahankan mati–matian dan menjadi begitu urgen karena berkaitan dengan praktek sosial keagamaan yang akan mempengaruhi dan mengganggu jalannya stabilitas sosial (halaman 172).
Pada konteks inilah, Resolusi Jihad menjadi satu manifestasi perjuangan nasional oleh kaum santri. Di saat Indonesia ingin kembali diduduki sebagai wilayah jajahan, konsekuensi perlawanan demi menyelamatkan Indonesia menjadi satu-satunya pilihan.
Oleh: Abdul Aziz Fatkhurrohman
Tulisan ini telah dipublish di Harakatuna.com
https://www.harakatuna.com/resolusi-jihad-sejarah-yang-sempat-terabaikan.html