NUonline Ponorogo- Momen peringatan hari santri mendorong Lesbumi PCNU Ponorogo untuk mengangkat tema sejarah Ponorogo sebagai tema diskusi. Tema yang diangkat cukup menantang, “Sapa dlondonge Wong Ponorogo?” Gelaran ini dilaksanakan, Senin (26/10) pukl 20.00 WIB di aula PCNU Ponorogo.
Sebelum acara dimulai, para peserta undangan diskusi yang hanya dibatasi 50 orang itu disuguhi penampilan tarian sufi. Sejenak para peserta undangn yang berasal dari jajaran Syuriah dan Tanfidziyah PCNU, fungsionaris Lesbumi dan perwakilan Banom NU tampak larut dalam kesyahduan suasana.
Setelah acara dibuka, Ketua Lesbumi PCNU Ponorogo Sauji atau yang lebih akrab dipanggil Kang Jenggo tampil memberikan sambutan. Kang Jenggo lebih banyak melaporkan aktifitas Lesbumi selama ini. Ia menyatakan, Lesbumi dalam sebulan terakhir aktif menelusuri situs masjid yang berdiri sebelum era 90-an, diskusi dan pelestarian budaya lokal.
“Meskipun masih dalam masa pandemi, kami dalam tiga bulan ini terus aktif menelusuri situs masjid yamg berdiri di sebelum tahun 1900. Juga giat di pelestarian cagar budaya dan secara berkala mengadakan diskusi bertajuk jagongan budaya,” ucap Kang Jenggo.
Namun, sebutnya lebih lanjut, mulai pandemi covid-19 melanda Indonesia kegiatan kesenian yang dikelolanya terpaksa harus dihentikan sementara.
“Karena pandemi, sanggar seni, musik, wayang kontemporer belum kita mulai,” imbuh Dia.
Pada sesi diskusi, Lesbumi PCNU Ponorogo menghadirkan narasumber Muslim Rahmat dari Bidang Pendidikan Sekolah Dasar Dinas Pendidikan Ponorogo dan Yuda dari Dinas Budaya, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga.
Pemaparan Muslim Rahmat lebih banyak menjelaskan upaya pelestarian seni tradisi dan budaya Ponorogo yang di laksanakan oleh Dinas Pendidikan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Ia mencontohkan, pada usia PAUD dan TK diadakan pengenalan seni tradisi Ponorogo dengan cara bermain dan gembira.
“Sebab usia mereka adalah usia anak yang masih banyak bermain. Tari-tarian tradisional banyak di kenalkan pada usia ini,” ucapnya berdalih.
Muslim menambahkan, pengenalan seni dan budaya untuk anak SD bisa di jalankan melalui kegiatan ekstrakurikuler. Bahkan, sebutnya, kini di SD sudah ada pengenalan dan pembinaan reyog anak.
“Ini salah satu upaya pelestarian reyog. Reyog anak sebetulnya mau difestivalkan pada tahun 2020 ini tapi masih terkendala adanya pandemi covid 19,” ujarnya.
Setelah Muslim tampil, Yuda mengingatkan semua yang hadir bahwa kesenian khas Ponorogo sangat banyak. Ia menyebut, selain memiliki reyog yang telah diakui dunia, masih ada beberapa kesenian lain. Seperti seni gong gumbeng, seni Kongkil dan sebagainya.
“Reyog kini telah menjadi kebanggan tersendiri. Reyog merupakan warisan non benda dari para leluhur kita. Maka saat ini kita masih berupaya Reyog mendapat pengakuan Unesco, sebagai warisan nenek moyang atau Leluhur non benda. Dan kini masih pada tahap pengkajian para ahli,” papar Yuda.
Sesi tanya jawab seakan menjadi ajang curahan kegelisahan para seniman dan budayawan di Ponorogo termasuk Lesbumi. Lesbumi mempertanyakan nasib kaderisasi seniman reyog. Kang Jenggo saat diberi kesempatan berbicara menyampaikan harapannya tehadap perkembangan reyog.
“Jangan sampai reyog Ponorogo yang lahir di Ponorogo ini, akan terkubur di Ponorogo. Maka pelestarian reyog pada usia sejak kecil harus dilaksanakan,”
Menjawab keluhan para budayawan, pihak Dinas Budaya, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga menyatakan, apabila pandemi ini telah selesai di Ponorogo akan kita gelar tiga even festival. Yaitu, Reyog anak pada Event Hari Anak, Reyog mini untuk Remaja usia SMP akan di gelar pada Hari Jadi Ponorogo dan Reyog Nasional akan digelar pada Peringatan Grebeg Suro.
Di akhir diskusi, Kang Jenggo yang juga sebagai moderator menyimpulkan dengan menjawab pertanyaan, “Sapa Dlondonge Wong Ponorogo?” Jawabannya adalah mereka yang peduli terhadap seni, tradisi dan budaya Ponorogo.
“Mereka yang memiliki ide, gagasan, mengupayakan menjalankan pelestarian seni tradisi dan budaya Ponorogo,” pungkas Kang Jenggo.( dam)
Reporter: Idam
Editor : budi