“Mabok Agama”, demikianlah istilah yang Saya serap beberapa waktu lalu sebagai gambaran atas sosok yang suka berlebihan dalam beragama. Mabok agama ini dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya oleh beberapa kalangan, sebab generasi semacam ini cenderung fanatik buta, berani menyalahkan tanpa didasari pemahaman agama yang kuat.
Menurut beberapa kalangan, sosok mabok agama kini terbagi menjadi beberapa kategori, pertama mereka mengikuti aliran yang sejak awal memang mempunyai motif tidak jelas, aliran ini disebut takfiri (suka mengkafirkan aliran lain). Kedua, mereka yang terbawa arus fenomena hijrah. Ketiga, gerakan Arabisasi. Ada juga ciri lain dari generasi mabok agama ini yakni kecenderungan belajar agama melalui medsos, ustadz Google, Seminar dan sejenisnya.
Setelah beberapa kali membaca ulasan tentang perilaku berlebih dalam agama ini, tiba-tiba Saya teringat dengan situasi 6 (enam) tahun silam. Waktu itu, Saya sempat berteman dengan salah satu generasi yang katanya “Mabok Agama” ini. Saya sendiri bahkan beberapa kali mengikuti ajakan teman Saya untuk hadir dalam forum yang ia sebut sebagai “halaqah”, semacam diskusi tentang persoalan agama.
Ingatan tersebut kemudian memicu Saya untuk menanyakan kembali “Kenapa waktu itu, teman Saya terjebak dalam pusaran kategori umat yang berlebihan dalam beragama ini?”. Setelah merenung beberapa saat, Saya akhirnya mendapatkan beberapa indikator yang dapat dijadikan alasan logis untuk menjawab problematika dalam benak Saya tadi.
Pertama, teman Saya bukanlah lulusan pesantren manapun, waktu SD sampai tingkat Menengah, ia menempuh pendidikan di Sekolah Umum. Pasca menempuh pendidikan tinggi, ia justru memilih atau mungkin terjerumus dalam salah satu jurusan agama (syariah). Tentu saja, sebagai sosok yang cukup cerdas, selalu mendapatkan peringkat kelas, ghirah-nya untuk belajar agama pasti meningkat.
Selain itu, teman Saya merupakan kategori yang taat beragama, bila dibandingkan Saya, keistiqomahan dalam melakukan shalat berjamaah tidak diragukan lagi. Sebagai sosok yang semangat beragamanya tinggi, Saya sendiri sebagai lulusan pesantren takjub. Mengapa? Sebab, tanpa dipaksapun ia sudah mampu menjalankan shalat berjamaah secara tertib. Beda dengan Saya yang kualitas jamaahnya terbentuk karena ta’zir (denda/hukuman kepada santri).
Semangat beragama yang demikian tinggi tentu saja memicu semangat belajar agama yang tinggi pula. Sayangnya, lantaran berada di perguruan tinggi, sudah tidak ada guru yang sempat mengarahkan atau membimbingnya, layaknya Kyai di Pesantren. Akhirnya, ia secara bebas memilih di mana ia harus belajar agama.
Secara kebetulan, waktu itu di Indonesia, dunia maya mulai dikenal dan sedang gencar-gencarnya, termasuk website dan blog Islam. Saya sendiri waktu itu juga termasuk kategori ahli konsumsi bahan tugas dari website, termasuk tugas berbau agama. Prediksi Saya, waktu itu kawan Saya juga sering mencari berbagai referensi dari internet, bahkan mungkin termasuk referensi tentang ilmu agama.
Bagi Saya yang dulu pernah menjadi “Santri”, meskipun pemahaman agama tidak seberapa, saat ada informasi yang aneh, Saya bisa bertanya kepada sesama alumni atau bahkan bertanya langsung kepada Kyai. Hanya saja, kasusnya berbeda dengan teman Saya di atas, bisa jadi ia menelan mentah-mentah informasi tersebut. Hasilnya, sudah pasti pemahaman agama yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Kedua, selain muncul fenomena media informasi berbau agama, muncul pula aktivitas lain yakni organisasi yang menyatakan diri anti Pancasila. Waktu itu, organisasi ini sedang masif-masifnya. Berbagai seminar bertemakan Islam yang dijejali dengan materi Jihad berkali-kali diadakan secara bebas. Bahkan, pasca seminar diadakan kegiatan tindak lanjut (RTL) berupa halaqah pasca magrib, Saya termasuk pesertanya.
Kata pihak panitia, isi dari halaqah adalah diskusi seputar ibadah dan kajian Islam. Ternyata, setelah Saya ikut nimbrung, isinya seputar kajian perjuangan umat Islam versus umat lainnya yang selalu diakhiri dengan kesimpulan bahwa umat Islam saat ini sedang dijajah. Kondisi semacam ini tentu saja dialami dan diikuti secara istiqomah oleh teman Saya tadi.
Dua faktor di atas, tentunya sudah menjadi jawaban yang cukup logis atas pertanyaan Saya tadi. Rasa haus akan pengetahuan agama yang kemudian tidak diisi dengan materi-materi dasar dan ilmu-ilmu agama, bahkan dijejali dengan wawasan mengenai “jihad” dan perilaku muslim lain yang diam saja terhadap kondisi “penjajahan terhadap muslim”, memicu teman Saya tadi untuk menjadi lebih Mabok Agama dan menyalahkan cara beragama pihak lainnya. Alasannya sudah jelas, sebab menurutnya yang diperlukan saat ini adalah memperjuangkan agama Islam yang menurut versi mereka telah dirusak oleh globalisasi, sedangkan pihak lain (aliran lain) diam-diam saja.
Kondisi semacam ini tidak hanya dialami oleh teman Saya tadi, tetangga Saya pun juga jadi korbannya. Dari aspek keluarga, mulai dari buyut sampai kedua orang tua, mereka tergolong standar, atau dalam istilah Clifford Geertz adalah kaum abangan. Dari kecil pendidikan si anak diarahkan pada sekolah umum (SD, SMP, SMK). Dalam ranah keluarga pun, cukup kering dari pembahasan persoalan agama.
Pasca belajar di salah satu Perguruan Tinggi di Surabaya, kebetulan anak dari tetangga Saya tadi kos dan melakukan interaksi dengan salah satu dari golongan yang termasuk dari tiga kategori di atas. Bahkan, kini menikah dengan salah satu anak dari penganut golongan tadi. Sudah jelas apa yang terjadi, kini dia menjadi salah satu golongan yang paling keras menolak tradisi yang biasa dijalankan orang tuanya.
Tentu saja, orang tua mereka sempat berkonsultasi dengan keluarga Saya, menanyakan perihal dalil dari tradisi turun temurun yang biasa dilakukan di daerah Saya. Hanya saja, semua dalil dan berbagai pendapat ulama yang Saya kutip mentah di hadapan anaknya. Sudah terlambat dan sudah terlalu kuat ideologi yang tertanam dalam diri anaknya, itulah kesimpulan yang Saya dapatkan.
Pasca bernostalgia menyelami faktor-faktor yang menyebabkan teman dan tetangga Saya tadi, akhirnya Saya menyadari satu hal “Betapa Terlambatnya, Saya atau Kita Menyadarinya”.
Jangan-jangan kitalah yang justru terlambat mewadahi generasi yang kini “Mabok Agama” ini. Bahkan, jangan-jangan kita tidak punya program yang dapat menyaingi masifnya gerakan pembentuk generasi mabok agama tadi.
Sholeh Hasan Wahid
Dosen IAIN Ponorogo