NU Online Ponorogo – Arus modernisasi memaksa seni tradisional layaknya orang yang sedang sesak nafas. Para seniman tradisional dipaksa untuk terus berkreasi agar dapat bersaing dengan budaya pop dari luar yang mendompleng modernisasi. Tanpa inovasi, seni tradisional perlahan-lahan akan punah dimakan jaman. Tak terkecuali seni wayang yang mulai terpinggirkan.
Demi melestarikan seni wayang, para seniman yang tergabung dalam Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PCNU Ponorogo membuat terobosan baru. “Kita coba populerkan seni wayang yang kita sebut sebagai Wayang HOR,” kata Ahmad Sauji di sela pementasan yang digelar di Kantor PCNU Ponorogo, Sabtu (28/11) malam.
Selaiin disaksikan pengurus PCNU, beberapa seniman dan pengurus Lesbumi dari PCNU sekitar juga ikut hadir. Acara malam itu diawali dengan penyerahan bea siswa tahap pertama dari Baznas melalui NU Care – Lazisnu dan LP Ma’arif NU. Penyerahan secara simbolis langsung dilakukan Ketua LP Ma’arif PCNU Ponorogo H.M. Asaduddin Luqman, M.Pd.I. kepada 2 penerima bea siswa. Keduanya adalah Muhammad Tajul Munif dari Ponpes KH Syamsudin Durisawo dan Siti Rodiah dari Ponpes Al Mukarrom.
Ahmad Sauji yang akrab disapa Jinggo mengatakan, Lesbumi menggelar wayang dengan tujuan melestarikan seni peninggalan nenek moyang. Sebagai seniman NU, nuansa santri sengaja ditonjolkan dalam setiap pementasan. “Malam ini judulnya Bagong Magang Lurah. Padahal, dia sedang mondok di pesantren. Seperti apa ceritanya, silakan disimak saja,” tuturnya.
Saat ditanya tentang Wayang HOR, Jinggo hanya tertawa. Katanya, Wayang HOR adalah wayang arus bawah. Cerita yang diangkat tidak istana sentris. Instrumen pendukungnya pun cukup sederhana. Jika umumnya terbuat dari kulit, Wayang HOR hanya dibuat dari kertas karton atau kardus yang dibuat menyerupai aslinya. “HOR itu artinya Hangudi Obahing Roso. Pengiringnya juga bukan gamelan, melainkan alat musik modern,” terang seniman berambut gondrong ini.
Meski dengan fasilitas yang sangat terbatas, lanjutnya, tidak mengurangi semangat seniman Lesbumi untuk terus melestarikan seni dan budaya. Selain menggelar pentas, Lesbumi juga menggandeng Sanggar Pandawa membuka kursus untuk menjadi dalang. “Formatnya dua dua. Maksudnya, seminggu latihan dua kali dan setiap latihan hanya untuk dua orang saja,” paparnya.
Tidak seperti wayang kulit yang digelar semalam suntuk. Wayang HOR hanya membutuhkan waktu kurang dari 1 jam. Pada pentas tadi malam, wayang dimainkan Ki Arya Sindhu Dharma. Dan sebagai bentuk penghormatan, tuan rumah juga memberikan kesempatan kepada Ki Danang dari Madiun untuk menjadi dalang. “Semoga kita bisa melestarikan wayang. Syukur-syukur bisa jadi rutinan,” pesan Ki Danang yang disampaikan melalui wayang yang dimainkannya.
Reporter : Lege / EY
Editor : Lege