Fenomena saling menjatuhkan via medsos karena kesalahan seseorang semakin jamak kita saksikan dewasa ini. Gara-gara si A salah dalam mengeja atau membaca teks Arab misalnya, kesalahan itu lantas dijadikan oleh si B dan jama’ahnya sebagai bahan untuk menjatuhkan, mem-bully dan mengolok-olok si A. Giliran si B melakukan kesalahan yang sama, si A dan jama’ahnya ganti ramai-ramai menghujat si B dan begitu seterusnya.
Atas fenomena tersebut, saya jadi teringat kasus yang terjadi pada masa khalifah Harun ar-Rasyid antara Imam al-Kisa’i dan Imam al-Yazidi.
Dikisahkan oleh Ibn al-Dauraqi dalam kitab “Nuzhat al-Alba’ wa Thabaqat al-Adibba” [hal., 61-62], bahwa suatu ketika Imam al-Kisa’i dan Imam al-Yazidi bertemu saat keduanya sama-sama menghadap sang Khalifah. Singkat cerita, saat shalat Maghrib al-Kisa’i menjadi Imam di masjid istana, ia mengalami “keruwetan” saat membaca surat al-Kafirun. Setelah salam, Imam al-Yazidi berkomentar:
قارٸ أهل الكوفة يرتج عليه فی الكافرون
“Ahli baca (qari’) Kufah ternyata ruwet/gemetar dalam membaca Surat al-Kafirun.”
Ketika Shalat Isya’, ganti Imam al-Yazidi yang ditunjuk sang Khalifah menjadi imam shalat, dan ternyata ia juga mengalami keruwetan yang sama saat membaca Surat al-Fatihah. Setelah salam, Imam al-Kisa’i memberikan komentar atau lebih tepatnya nasehat dengan sya’ir dalam bentuk Bahar Kamil berikut:
احفظْ لسانَكَ أن تقول فتُبْتَلَی
انَّ الْبَلَاءَ موكَّل بالمنطق
“Jagalah lisanmu jangan sampai berkata yang menjadikanmu celaka, sesungguhnya bencana itu dititipkan pada tutur kata.”
Nasehat orang Jawa yang berupa ungkapan “Sopo Sing Alok Bakal Melok lan Sopo Sing Gething Bakal Nyanding” tampaknya semakin menemukan signifikansinya dalam konteks kasus yang melibatkan kedua imam tersebut. Cerita terkait peristiwa yang melibatkan Imam al-Kisa’i versus Imam al-Yazidi ini juga bisa dibaca dalam beberepa referensi. Misalnya, al-Mukhtar min ‘Uyun al-Ma’arif wa al-Akhbar (Juz X/93); al-Mujalasah wa Jawahir al-‘Ilm (III/144); al-Kitabah al-Faniyah fi Masyriq al-Daulah al-Islamiyah fi Qarni al-Tsalis al-Hijri (hal., 16).
Kedua kasus tersebut sama tapi berbeda. Persamaannya adalah terkait mencela orang lain atas kesalahan yang dilakukannya. Adapun perbedaannya, jika jaman now (kasus A versus B), perbuatan mencela itu sifanya timbal-balik atau menjadikan kesalahan orang lain sebagai bahan untuk saling menjatuhkan, mencela dan atau mem-bully (resiprokal), sementara kasus jaman old (kasus al-Kisa’I versus al-Yazidi) meskipun juga timbal balik, namun bersifat “negatif-positif” atau “celaan-peringatan”. Jika yang pertama “mencela atas kesalahan” dibalas dengan “mencela atas kesalahan” yang sama sehingga terjadi mata rantai “saling mencela”, maka kasus yang kedua mencela atas kesalahan direspon dengan “memperingatkan”. Dalam kasus jaman old, Imam al-Kisa’i tidak membalas “ejekan” Imam al-Yazidi dengan ejekan yang serupa, melainkan beliau merespon ejekan tersebut dengan menasehatinya supaya hati-hati dalam bertutur kata.
Walhasil, mari bersama-sama kita renungkan peringatan Nabi Muhammad saw melalui hadisnya yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi berikut:
مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ
[مرقاۃ المفاتيح شرح مشكاۃ المصابيح, ج. ۸, ص., ۹٦].
“Siapa yang menjelek-jelekkan saudaranya karena suatu kesalahan, maka ia tidak akan mati kecuali melakukan kesalahan yang serupa tersebut.”
Ahmad Syafi’i SJ
Rais MWC NU Pulung/ Pondok Pesantren Ainul Ulum Pulung