Kronik Sejarah
Siapa yang menyangka di balik Surat Keputusan Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda De Jonge tertanggal 28 Desember 1933, ternyata Tuhan menitipkan catatan takdir sejarah yang indah untuk Indonesia. Surat yang menjadikan Ir. Soekarno harus diasingkan ke Pulau Ende itu, justru menjadi peristiwa bersejarah. Ya, karena di situlah Bung Karno menemukan inspirasi tentang 5 Sila yang kelak akan menjadi pondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dan inilah skenario Tuhan; berawal dari Bung Karno, Inggit Garnasih (istrinya), Ratna Djuami (anak angkat), Ibu Amsi (mertua) yang dibawa kapal barang KM van Riebeeck berangkat dari Surabaya menuju Flores. Butuh waktu 8 hari untuk sampai di Pelabuhan Ende. Bung Karno dan keluarga dibawa ke rumah pengasingan milik H. Abdullah Amburawu di Kampung Ambugaga, Kelurahan Kotaraja. Di pelataran rumah inilah, tepatnya di bawah pohon Sukun, Bung Karno mendapat inspirasi Pancasila di sela-sela 4 tahun masa pengasingannya (14 Januari 1934 – 18 Oktober 1938).
Untuk pertama kalinya, Soekarno membawa rumusan Pancasila di Sidang Pertama BPUPKI (Dokuritsu Junbi Chosakai) di Gedung Chuo Sangi In pada tanggal 1 Mei 1945. Rumusan Pancasila ini kemudian masih harus diuji oleh Panitia Sembilan beranggotakan Ir. Sukarno, Mohammad Hatta, Abikoesno Tjokroseojoso, Agus Salim, Wahid Hasjim, Mohammad Yamin, Abdul Kahar Muzakir, Mr. AA Maramis, dan Achmad Soebardjo. Hingga akhirnya Pancasila dimasukkan ke dalam UUD 1945 dan disahkan menjadi dasar negara pada Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
Dalam perjalanannya sebagai dasar negara, Pancasila mengalami pasang surut. Ironisnya, tantangan terberat justru datang dari dalam. Sejarah mencatat, berkali-kali Pancasila diuji kesaktiannya. Dari yang terang-terangan ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lainnya, baik dari gerakan ekstrim kiri maupun gerakan ekstrim kanan. Pancasila bahkan juga pernah dikerdilkan dari hakekat dan spirit yang ada di dalamnya melalui penerapan butir-butir P4 (Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila) di jaman Orde Baru.
Nilai Pancasila
Pancasila tidak lahir dari ruang kosong yang berisi gagasan absurd. Sebaliknya, Pancasila adalah kristalisasi nilai yang sudah dipraktekkan selama ratusan tahun. “Aku tidak mengatakan bahwa aku menciptakan Pancasila. Yang kulakukan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami sendiri, tradisi-tradisi kami sendiri, dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah,” aku Bung Karno kepada Cynthia Heller Adams, satu-satunya kolumnis Amerika yang diijinkan wawancara.
Gagasan awal Bung Karno tentang Pancasila, memang sedikit berbeda. Baik dari segi urutan maupun redaksional. Pada awalnya, Bung Karno menawarkan sila pertama berisi peneguhan atas identitas sebagai nation–state dengan redaksi Kebangsaan Indonesia. Gagasan ini merujuk pada kejayaan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang dinilai Bung Karno pernah menerapkan konsep nation–state.
Kesadaran berbangsa dan bernegara ini tidak boleh melampaui batas. Bung Karno sangat memahami bahwa kesadaran ini bisa overdosis dan pada akhirnya terjerumus pada ultra nasionalisme atau chauvinisme (sikap cinta tanah air berlebihan, red). Maka sila kedua yang diusulkan adalah Internasionalisme atau Perikemanusiaan.
Internasionalisme yang diusung Bung Karno bukanlah Internationale ala Vladimir Lenin, Leon Trotsky ataupun Joseph Stalin yang tergambar melalui Komintern (Komunisme Internasional, red). Juga bukan model Tandhimul Jihad yang mengejawantah menjadi Hizbut Tahrir, atau Ikhwanul Muslimin yang mengeras setelah selingkuh dengan gerakan salafi.
“Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme,” kata Bung Karno dalam pidatonya.
Sila ketiga adalah Mufakat atau Demokrasi. Bung Karno mengingatkan bahwa Indonesia didirikan bukan hanya untuk kelompok atau golongan tertentu saja. Bung Karno menyebutnya dengan ‘semua buat semua, satu buat semua‘. Maka segala hal perbedaan dan perselisihan, hendaknya diselesaikan secara musyawarah dengan persepektif untuk kebaikan semua golongan.
Ketika semua hal sudah bisa dibicarakan bersama melalui musyawarah mufakat, maka tujuan berikutnya adalah Kesejahteraan Sosial yang sekaligus diusulkan sebagai sila keempat. “Semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi”, begitu kata Bung Karno. Dan inilah yang menjadi salah satu tujuan kemerdekaan Indonesia.
Dan pada akhirnya, Indonesia Merdeka yang memegang teguh 4 prinsip (sila) di atas akan sampai pada kehidupan Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Bahwa masing-masing umat beragama akan menjalankan agamanya secara berkebudayaan. Yakni dengan menghindarkan diri dari egoisme agama. Dengan begitu, maka agama akan tumbuh subur dalam suasana harmoni yang indah.
Alih-alih memahami substansi dan spiritnya, yang terjadi malah justru pembelokan atas Pancasila meskipun dari luar terlihat baik. Sebagaimana dilakukan Soeharto di era Orde Baru dengan klaim P4 sebagai manifestasi dari Pancasila. Kenyataannya, jauh dari spirit Pancasila.
Bung Karno menerangkan secara lugas, andaikata Pancasila diperas untuk diambil intisarinya maka akan menjadi Trisila. Yaitu : Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi dan Ketuhanan. Dan jika Trisila diperas lagi untuk diambil core of the core-nya, maka akan diperoleh Ekasila. Yaitu : Gotong Royong.
Gotong royong inilah yang menjadi pondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila yang sudah ditetapkan sebagai dasar negara, harus tercermin di semua bidang kehidupan. Dalam bidang ekonomi misalnya, maka formula seperti apa yang mencerminkan satu bentuk gerakan ekonomi yang berbasiskan gotong royong. Salah satunya adalah model gerakan koperasi. Dan begitulah seharusnya di bidang-bidang lainnya.
Dan pada akhirnya, muncul satu pertanyaan sebagaimana judul di atas ; Apakah Pancasila sejalan dengan Qanun Asasi? Apakah spirit Pancasila sejalan dengan spirit Qanun Asasi? Bukankah Qanun Asasi yang ditulis Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari juga memuat nilai-nilai gotong-royong meskipun dengan menggunakan redaksi yang berbeda? Bukankah Qanun Asasi yang secara hirarki berada di atas AD/ART Nahdlatul Ulama juga memuat nilai perkumpulan (ijtima’), saling mengenal (ta’aruf) persatuan (ittihad), dan kebersamaan (ta’alluf)?
Maka tidak perlu heran jika nahdliyin adalah penjaga sejati Pancasila.
Siapa kita? NU
Pancasila? Jaya
NKRI? Harga Mati
AGUS NASRUDDIN, ST
(Sekretaris PCNU Ponorogo)