NU Online Ponorogo – Masyarakat Jawa hingga kini masih banyak yang mempertahankan kebiasaan merawat serta menghargai benda pusaka. Tradisi itu jamak dilakukan penggemarnya dengan ritual jamasan pusaka.
Jamasan sendiri berasal dari bahasa Jawa ‘Jamas’, berarti cuci, membersihkan atau mandi. Sedangkan kata ‘Pusaka’ menjadi sebutan bagi benda-benda yang dikeramatkan atau dipercaya memiliki kekuatan tertentu. Dengan begitu jamasan pusaka adalah ritual membersihkan atau memandikan pusaka yang dikeramatkan pemiliknya.
Tradisi jamasan pusaka telah terjadi secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. Biasanya pusaka akan dibersihkan tepat pada malam 1 Suro menurut penanggalan kalender Jawa.
Pada malam 1 Suro pula biasanya ada tirakatan di kampung-kampung untuk berdoa dan sarana guyub rukun dengan warga. Meski begitu, tirakatan ini nada-nadanya semakin tenggelam oleh zaman. Tradisi lain, seperti ‘kungkum’ atau merendam badan dalam air sungai hampir-hampir tidak ditemukan lagi.
Pada masa pandemi ini ritual jamasan pusaka meski terbatas tetap dilakukan oleh sementara penggemar setianya.
Hal itu dibenarkan Hadi Sutrisno, warga Dadapan (Balong, Ponorogo) yang telah sekian lama menekuni jamasan pusaka.
Kang Sutris, sapaan akrabnya, mengaku pada awal bulan Suro ini ia melayani jamasan tidak kurang dari 200 buah benda pusaka. Pemilik benda pusaka itu tidak hanya datang dari Ponorogo, banyak juga yang berasal dari Magetan, Trenggalek, Wonogiri dan sekitarnya.
“Benda-benda yang sering saya diminta untuk dijamas semua jenis pusaka, mulai keris, tombak, dan pembuatan warangan (bahan pengawet keris, Red),” ungkap Kang Sutris yang saat ini menjabat Kasatkoryon Banser Balong ini.
“Di luar bulan Suro banyak juga orang yang datang ke saya untuk minta jamasan pusaka,” imbuhnya.
Kang Sutris sendiri mengaku, bahwa ia menekuni jamasan pusaka sejak duduk di kelas 1 MTs Maarif Miftahul Ulum Ngraket.
“Saya belajar otodidak, belajar dari teman.
Tapi memang karena ada faktor keturunan, kakek buyut saya semasa hidupnya juga melayani jamasan pusaka,” tuturnya.
Dikatakannya, jamasan pusaka yang ia tekuni karena didorong oleh keinginan kuat dalam merawat peninggalan leluhurnya.
“Jamasan pusaka ini saya lakukan dengan niat merawat peninggalan leluhur agar tidak punah. Kalau tidak kita, siapa lagi,” tandasnya.
Diungkapkannya pula, jamasan pusaka ia lakukan sendiri, hanya kadang-kadang ia mengajak teman. “Biasanya ada 5 orang yang saya ajak,” ucapnya.
Meski begitu Dia berharap tradisi ini tetap bisa dilanjutkan oleh generasi muda NU. Utamanya, jelas Kang Sutris, orang-orang yang punya sense terhadap warisan budaya perlu menekuni jamasan pusaka.
“Ini (jamasan pusaka, Red) supaya diniati agar mengingtkan kita atas kebesaran Allah Swt, sehingga terhindar dari syirik,” pungkasnya.
Reporter : Idam
Editor : Budi