Al Umm karya Imam Muhammad ibn Idris Asysyafi’i (w: 204 H/ 820 M) merupakan salah satu kitab paling penting dalam peradaban Islam. Disusun berdasarkan urutan bab fiqih, kitab al Umm memberikan contoh nyata dalam penulisan keaslian fiqih berlandaskan kaidah dan metode ilmiah yang telah digariskan dalam ushulnya: Arrisalah. Imam Syafi’i menjelaskan metodenya dalam menetapkan suatu hukum dari sumbernya melalui ijtihad dengan penjelasan nyata berdasarkan pondasi yurisprudensinya.
Dalam mengemukakan pendapatnya, Imam Syafi’i menguraikannya berlandaskan dalil dari al Quran atau Hadits yang shahih dalam pandangannya, kemudian beliau menggunakan pemikirannya dalam beristinbath mengambil hukum dari al Quran dan Hadits (Ijma’ dan Qiyas). Tidak hanya sampai di situ, Imam Syafi’i juga menggunakan garis besar kaidah-kaidah fiqih, lalu memetakan cabang-cabang masalah dan merincinya secara ilmiah. Inilah implementasi dari dua metode pendidikan secara bersamaan: Madrasah Hadits (naqli) di Hijaz dan Madrasah Ra’y (‘aqli) di Iraq, yang saat itu selalu bertentangan. Imam Syafi’i telah berhasil menggabungkan kedua metode pendidikan itu saat menuliskan atau mendiktekan al Umm.
Sebagai murid Imam Malik (w: 179 H/ 795 M) di Madrasah Hadits, Imam Syafi’i menguatkan pendapatnya dengan dalil-dalil dari al Quran dan Hadits. Ada sekitar 4.000 Hadits Nabi dan atsar sahabat yang terdapat dalam kitab al Umm. Oleh karena itu, sebagian ulama menjadikannya bukan hanya sekedar kitab fiqih, tetapi juga merupakan kitab hadits. Namun, Imam Syafi’i tidak serta merta memaknai al Quran dan Hadits secara dzahirnya saja, melainkan beliau juga memperkirakan kemungkinan-kemungkinan makna yang dimaksud dari satu ayat atau hadits, berikut penjabarannya secara detail sesuai dengan kaidah bahasa dan sastra.
Sebagai murid Imam Muhammad ibn Hasan Asysyaibani (w: 189 H/ 804 M), murid Imam Abu Hanifah (w: 150 H/ 767 M) di Madrasah Ra’y, Imam Syafi’i merinci permasalahan dari yang terbesar hingga yang terkecil. Beliau melihat sisi manthuq (lafadz nash yang tertulis) dan mafhum (makna tersirat yang dipahami dari nash), sehingga banyak sekali ditemukan qiyas dalam al Umm. Imam Syafi’i juga banyak menggunakan perbandingan akal untuk memperkuat pendapatnya dalam memahami al Quran dan Hadits sesuai dengan kaidah bahasa dan filsafat.
Ketika Imam Syafi’i berbeda pendapat dengan ulama yang lain, maka beliau akan menyebutkan pendapat mereka secara teliti, lalu membantahnya dengan halus dan tawadhu’. Bantahan beliau bukan tanpa alasan, melainkan atas dasar pendalilan. Imam Syafi’i berkeyakinan bahwa pendapatnya benar, dan yang lain itu salah. Tetapi beliau juga berspekulasi bahwa pendapatnya mungkin saja salah, dan yang lain mungkin ada benarnya. Dengan menyebutkan pendapat-pendapat ulama lain dari berbagai madzhab itu, Imam Syafi’i telah menjadikan al Umm sebagai kitab fiqih perbandingan pertama yang ditulis.
Kitab al Umm merupakan ibu dari kitab-kitab fiqih madzhab Syafi’i. Kitab inilah yang menjadi asal muasal Madzhab Syafi’i, disebarkan dan diajarkan oleh murid-muridnya, terutama: Abu Ya’qub al Buwaithi (w: 231 H), Abu Ibrahim al Muzani (w: 264 H), dan Rabi’ ibn Sulaiman al Muradi (w: 270 H).
Imam Buwaithi adalah pengganti (khalifah) Imam Syafi’i. Beliau mengajarkan dan menyebarkan fiqih Imam Syafi’i di halaqahnya selama lebih dari 20 tahun sebelum akhirnya dipenjara karena fitnah Mu’tazilah. Diantara karyanya adalah Mukhtashar al Buwaithi; ringkasan kitab-kitab fiqih Imam Syafi’i, terutama dari al Umm.
Imam Muzani adalah khalifah Imam Buwaithi. Beliau menjadi penerus fiqih Imam Syafi’i setelah Imam Buwaithi, menyebarkannya dalam forum-forum diskusi dan halaqah majelisnya. Seperti Imam Buwaithi, Imam Muzani juga meringkas kitab-kitab fiqih Imam Syafi’i, terutama al Umm. Beliau meringkasnya dalam Mukhtashar Kabir, lalu menuliskannya lagi dalam ringkasan yang lebih kecil, Mukhtashar Shaghir. Mukhtashar Shaghir inilah yang kita kenal sebagai Mukhtashar Muzani.
Adapun Imam Muradi ialah seorang hafidz yang terpercaya dalam menjaga literatur fiqih Syafi’i. Beliaulah yang meriwayatkan dan menuliskan kitab-kitab Imam Syafi’i, termasuk al Umm.
Tiga kitab ini (al Umm, Mukhtashar Buwaithi, Mukhtashar Muzani) adalah kitab asal Madzhab Syafi’i. Setelahnya, Ulama Syafi’iyyah terus mengembangkan fiqih Madzhab Syafi’i. Ada ulama yang menggabungkan ketiga kitab itu; mengumpulkan dan membandingkan pendapat-pendapat Imam Syafi’i, Imam Buwaithi, dan Imam Muzani, lalu memandang pendapat yang satu lebih kuat dari yang lain berdasarkan kekuatan pendalilannya. Ada ulama yang mensyarahnya; menjelaskan satu kitab berdasarkan kitab yang lain, agar bisa dipahami hukum yang diambil beserta cara pendalilannya. Ada pula ulama yang mengikhtisharnya; meringkas kembali ketiga kitab itu, hingga menjadi secarik kitab matan atau nadzom agar bisa dihapal.
Pada awal mula belajar fiqih, seorang murid biasanya menghapal dahulu matan atau nadzom fiqih. Tujuannya agar tergambar pembahasan fiqih secara garis besar, lalu merangkak ke jenjang kitab yang lebih tinggi hingga sampai pada kitab al Umm. Artinya, kembali ke pangkuan ibu; dari asal menjadi akhir, dari tanah kembali ke tanah.
Ahmad Yasir Falah al-Khudri
Sumber : https://alkhudriyah.wordpress.com/2017/08/06/al-umm-kitab-ibu-madzhab-syafii/