
Filosofi Tongkat
Kisah pemberian tongkat dari Syaikhona Kholil (Bangkalan) kepada Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari (Tebuireng) melalui KH Raden As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), menjadi tonggak awal lahirnya organisasi NU. Tongkat berdimensi panjang 87 cm dengan diameter atas 2,5 cm dan diameter bawah 1,4 cm inilah yang kelak menjadi penanda lahirnya sebuah organisasi terbesar di dunia yang memiliki andil besar dalam sejarah bangsa.
Sepenggal kisah tersebut, sangat masyhur di kalangan nahdliyin. Hampir bisa dipastikan, bahwa 99,9% nahdliyin sudah pernah mendengarnya. Tapi, apakah warga NU juga memahami makna dan filosofi dari tongkat itu? Mengingat, penggunaan simbol-simbol sudah menjadi tradisi di NU. Terutama untuk menjelaskan sesuatu yang bernilai tinggi.
Bahwa kemudian NU berkembang pesat dan menjadi organisasi terbesar di dunia. Bahwa NU mampu memberikan andil besar terhadap peradaban Islam dunia, terutama paska runtuhnya Kesultanan Turki (1924). Bahwa NU berhasil menawarkan jalan damai dalam hal relasi antara Agama versus Negara dan menjadi role model di banyak negara. Adakah keterkaitan antara tongkat itu dengan semua pergerakan NU hari ini?
Simbol tongkat yang diberikan Syaikhona Kholil memang sarat makna. Apalagi dibarengi dengan pesan berisi QS Thaha ayat 17-23 yang menceritakan tentang tongkat Nabi Musa. Mengutip penjelasan KH Makki Nasir yang masih dzuriyah Syaikhona Kholil, tongkat tersebut merupakan restu sekaligus simbol untuk mendirikan organisasi yang terorganisir dan terpimpin.
Begitulah sambung roso antara guru dan murid yang sudah terjalin rabithah. Keduanya sama-sama orang pilihan, sama-sama kekasih Allah. Di tangan orang hebat, tongkat itu bukan sekedar bisa melahirkan jam’iyah besar. Tapi bahkan mampu melahirkan peradaban atau setidaknya perwajahan Islam yang lebih compatible dengan perkembangan jaman.
Para muassis NU, dengan segenap semangat dan pengorbanan, telah menorehkan perjuangan besar dan tercatat dengan tinta emas dalam sejarah. Mereka semua adalah generasi perintis. Sementara takdir sejarah telah mengantarkan kita sampai pada titik sekarang, di mana kita semua hanyalah generasi pewaris. Baik sebagai jama’ah nahdilyin, maupun sebagai pengurus NU di semua tingkatan. Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan oleh generasi pewaris ini?
Kaderisasi
Mari kita bertanya kepada diri kita sendiri, apakah kita memiliki kualitas spiritual dan intelektual yang setara dengan para muassis? Pertanyaan ini penting untuk dijawab, karena berkaitan dengan apa yang harus dilakukan oleh generasi pewaris atas warisan (baca : organisasi NU) ini? Para muassis sudah membuktikan bahwa kemampuan spiritual dan intelektual mereka mampu menerobos segala tantangan yang dihadapi di jamannya.
Satu contoh kecil misalnya, bagaimana cara Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari mengundang para kyai se-nusantara untuk bertemu dan membahas sesuatu hal? Cicit Mbah Hasyim bernama KH Abdul Hakim Mahfudz (Ketua PWNU Jatim) pernah menuturkan langsung kepada penulis tentang hal ini. Kata Beliau, Mbah Hasyim punya gentong kecil yang diletakkan di dekat dapur. “Kalau ngundang kyai, Beliau hanya woro-woro lewat gentong itu. Dan nyatanya, semua kyai juga hadir,” kata kyai yang akrab dipanggil Gus Kikin.
Kembali ke pertanyaan awal, apa yang harus dilakukan generasi pewaris untuk melanjutkan perjuangan para muassis? Pertama adalah memahami apa yang menjadi harapan dan cita-cita para muassis atas NU? Bagaimana caranya? Tidak ada cara lain selain melakukan telaah mendalam atas naskah yang pernah ditulis oleh para muassis. Maka di sinilah pentingnya mempelajari, menelaah dan terus menggali makna-makna yang tertulis di dalam Muqaddimah Qanun Asasi.
Kedua, melakukan kontekstualisasi atas simbol tongkat. Jika tongkat di tangan Mbah Hasyim menjadi simbol untuk membariskan, lantas apa yang bisa digunakan saat ini? Bagaimana cara mengatur jama’ah yang jumlahnya sudah mencapai ratusan juta dengan tingkat keberagaman yang sangat heterogen ini? Jawabannya hanya satu : rule (aturan). Ya, aturan itulah wujud dari tongkat di jaman sekarang.
Bahwa organisasi sebesar NU tidak mungkin bisa dijalankan dengan baik hanya dengan AD/ART. Perlu aturan lebih spesifik dan bersifat operasional. Dari sinilah lahir Peraturan Perkumpulan, Peraturan PBNU, dan bahkan terbuka ruang untuk melahirkan Peraturan PCNU. Aturan-aturan tersebut merupakan standarisasi penyelesaian berbagai masalah yang muncul di lapangan. Hanya dengan cara inilah NU bisa terorganisir dan terpimpin sehingga menjadi organisasi yang kokoh dan digdaya.
Akan tetapi, apalah artinya sebuah aturan jika tidak dibarengi kesadaran untuk tunduk dan patuh terhadap aturan tersebut? Bukankah hanya akan menjadi setumpuk kertas yang memenuhi ruang perpustakaan? Meskipun di dalam kertas bertuliskan tinta hitam itu memuat pasal demi pasal yang sangat rigid.
Maka di sinilah perlunya kaderisasi. Kaderisasi bukan sekedar mempersiapkan generasi pewaris yang akan melanjutkan tongkat estafet. Tapi kaderisasi juga menyasar para pengurus agar tetap bisa compatible dengan organisasinya yang sudah diupgrade lebih dulu. Kaderisasi sekaligus juga sebagai upaya membangun kesadaran untuk menciptakan kohesi struktural.
Di abad kedua ini, NU sedang menata dirinya dan membuat lompatan-lompatan yang jauh ke depan untuk menghadapi tantangan jaman. Celakanya (atau tantangan?), kita sedang berada di masa transisi. Di mana kita hidup di masa akhir abad pertama dan juga merasakan masa awal abad kedua NU. Di masa transisi seperti ini, maka potensi terjadinya turbulensi sangat besar.
Penulis jadi teringat pesan pakar manajemen Peter F. Drucker soal turbulensi peradaban. Bahwa, “The greatest danger in times of turbulence is not the turbulence. It is to act with yesterday’s logic (bahaya terbesar di masa turbulensi bukanlah turbulensi itu sendiri, melainkan bertindak dengan logika masa lalu, red)”.
Dan untuk memastikan tongkat estafet itu adalah….KADERISASI !!!
Penulis: Agus Nasruddin, ST.
(Sekretaris PCNU Ponorogo)