NU PONOROGO

Official Website PCNU Ponorogo

Spirit 135 Digdaya NU (1)

DIGDAYA

Digdaya. Satu kata yang belakangan ini tiba-tiba memiliki daya magnet luar biasa menarik perhatian publik. Khususnya di kalangan nahdliyin yang sedang mengemban amanah menjadi pengurus NU di semua tingkatan. Mereka terbelalak, mereka penasaran, mereka bertanya-tanya : maa huwa Digdaya?

Rasa penasaran itu akhirnya terjawab setelah Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf melaunching Digdaya NU, 1 Agustus 2024 lalu. Ternyata, Digdaya adalah akronim dari Digitalisasi Data dan Layanan. Mengacu pada situs resminya, Digdaya adalah platform inovatif yang menghubungkan dan memberdayakan seluruh ekosistem data Nahdlatul Ulama (NU) dan layanan jamaah.

Apakah rasa penasaran itu terpuaskan sepenuhnya? Jelas tidak. Masih ada satu pertanyaan yang menggelayut di pikiran. Mengapa kata Digdaya dipilih sebagai akronim dari  Digitalisasi Data dan Layanan? Sementara kata Digdaya itu sendiri dalam kamus KBBI memiliki arti sakti dan tak tertandingi. Mirip Bu Kek Siansu dalam serial Kho Ping Ho, atau Superman di dalam kisah fiksi Superhero besutan Defective Comics (DC).

Apakah memang Digdaya memiliki spirit untuk mendorong NU menjadi organisasi yang sakti tak tertandingi? Anggap saja demikian. Maka muncul lagi pertanyaan, bagaimana caranya? Tentu, ini bukan perkara mudah. Karena NU dengan segala dinamikanya harus melakukan transformasi fundamental, dari organisasi tradisional menuju organisasi modern yang kuat dan tangguh.

Dengan tanpa mengurangi rasa kepatuhan dan kepatutan pada pimpinan tertinggi PBNU sebagai penggagas Digdaya NU, ijinkan penulis yang hanya sekedar santri untuk memberi tafsir, sekaligus meramunya menjadi satu bentuk slogan yang sederhana. Yaitu Spirit 135 Digdaya NU. Apa itu? Sebuah spirit untuk melaksanakan 1 Komando3 Aksi5 Prinsip. Bagaimana penjelasannya? Yuk, simak ulasan berikut ini sembari nyeruput kopi. Cekidot….

1 Komando

Sejauh ini, diakui atau tidak, pola gerakan NU nyaris tak beraturan bak Gerak Brown dalam Ilmu Fisika. Di mana partikel-partikel di dalam gas atau fluida (cairan) bergerak acak dan saling berbenturan satu sama lain. Alih-alih bisa menjadi sebuah orkestrasi dengan racikan equalizer yang sempurna dan syahdu ketika sampai di telinga. Kenyataannya memang demikian. Semrawut, kata orang Jawa.

Kondisi seperti ini terjadi bukan hanya secara interkoneksi antara ranting dengan MWC, antara MWC dengan PC, terus naik ke atas hingga PBNU. Bahkan di tingkat yang sama, antara PCNU dengan banomnya, belum ada keterpaduan gerak dan langkah. Kondisi ini menyebabkan banyak kader NU yang mengalami disorientasi. Akibatnya, NU seolah seperti korpus terbuka yang bisa ditafsiri sekehendak hati. Dalam hal pencapaian tujuan, NU bisa dikatakan stagnan atau setidaknya mengalami perlambatan.

Sebenarnya, situasi seperti ini banyak disadari kader-kader NU. Sayangnya, kesadaran ini tidak menemukan momentum sehingga tidak bisa keluar dari kejumudan. Hingga akhirnya datanglah momentum itu melalui Muktamar NU ke-34 di Lampung sebagai pintu gerbang perubahan. Di bawah kepemimpinan KH Miftachul Ahyar sebagai Rais Aam dan KH Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Umum PBNU, NU mulai melakukan transformasi.

Salah satunya adalah menerapkan garis komando yang sangat ketat. PBNU secara tegas mengukuhkan eksistensinya sebagai pengendali utama organisasi. Peneguhan eksistensi itu bukan sekedar gertak sambal, tapi betul-betul dikawal implementasinya sampai ke tingkat cabang. Pada tahap awal, model kepemimpinan seperti ini tentu saja harus berhadapan dengan hambatan-hambatan yang tidak mudah ditaklukkan. Tapi seiring perjalanan waktu, segala hambatan bisa dilalui. Dan pada akhirnya, PBNU bisa menerapkan apa yang memang seharusnya dilakukan.

Pola 1 komando tidak hanya berlaku secara vertikal, melainkan juga berlaku secara horisontal. Artinya, bahwa kepemimpinan di NU betul-betul dikembalikan kepada ulama. Di dalam struktur kepengurusan, baik di tingkat PB maupun Pengurus Ranting, Syuriyah yang merupakan representasi dan pelembagaan dari ulama menjadi pemegang tongkat komando tertinggi.

Sebagaimana ketentuan yang tertera di Bab VII Pasal 14 ayat 3 Anggaran Dasar NU yang berbunyi, “Syuriyah adalah pimpinan tertinggi Nahdlatul Ulama“. Pola komando seperti ini terbukti mampu menghasilkan orkestrasi yang syahdu, tidak lagi gedebukan seperti sebelumnya. Mari kita kawal spirit ini dengan sungguh-sungguh.

bersambung….

H. Agus Nasruddin, ST
Sekretaris PCNU Ponorogo

Informasi terkait:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Selamat Menjalankan Ibadah Puasa 1446 H