Dalam sebulan terakhir sejumlah PT di Ponorogo memulai perkuliahan semester gasal tahun akademik 2020/2021. Para mahasiswa baru yang tinggal jauh dari kampus tentu saja membutuhkan tempat tinggal selama menempuh kuliah. Sebagian besar mereka memilih tinggal di Pesantren mahasiswa (Pesma).
Di Ponorogo pesantren yang menampung santri khusus mahasiswa berbagai perguruan tinggi bermunculan. Ambil contoh saja, Pesma Amanatul Ummah Patihan Kidul Siman, Pesma Al-Mutawakkil Pasar Pon Ponorogo dan yang terbilang paling muda, Pondok Pesantren Sunan Kalijaga Puyut Plalangan Jenangan.
Ketiga Pesma ini memiliki banyak kesamaan, setidaknya para santrinya khusus mahasiswa yang kuliah di beberapa IAIN Ponorogo, IAI Sunan Giri dan Universitas Muhammadiyah serta beberapa PT lainnya. Kesamaan lain, pengasuh ketiga pesantren ini adalah tenaga pengajar di IAIN Ponorogo dan terlibat aktif di kepengurusan NU.
Kyai Erwin Yudi Prahara, M.Ag Direktur Pesma Amanatul Ummah aktif di LTN MWC NU Siman, Kyai Sunartip Fadlan, M.H.I pengasuh Pesma Al-Mutawakkil salah satu a’wan PCNU Ponorogo dan Kiai Muhammad Busyro adalah Sekretaris Aswaja Center PCNU Ponorogo.
Hal menarik yang patut digali adalah bagaimana ketiga pesantren tersebut menerapkan pendidikan pesantren dengan segala kulturnya pada saat yang sama harus mendidik para santri dengan pendekatan andragogi. Kali ini Reporter NU Ponorogo online berusaha mendapatkan keterangan dari ketiga pengasuhnya.
Kyai Erwin Yudi Prahara, M.Ag memiliki pandangan, prospek Pesma ke depan sangat bagus karena jumlah mahasiswa di Ponorogo terbilang banyak. Selain itu Pesma memiliki spesialisasi pembentukan karakter yang disesuaikan dengan tujuan mahasiswa setelah lulus dari perguruan tinggi.
“Peran mahasiswa sebagai agent of change seharusnya terintregrasi dengan ilmu dan agama khususnya ilmu pesantren,” kata Kiai Erwin, demikian beliau biasa dipanggil.
Atas dasar kebutuhan integrasi keilmuan, Kyai Erwin menegaskan, format kurikkulum Pesma disesuaikan dengan tujuan mahasiswa kuliah sesuai spesifikasinya. Menurutnya, “Mahasiswa jurusan keguruan harus punya tempat praktik mengajar, misalnya Madrasah Diniyah. Begitu juga mahasiswa jurusan ekonomi, kita fasilitasi untuk belajar kewirausahaan. Tapi tetap tidak boleh mengabaikan jati diri santri.” Tidak mengherankan jika di Pesma Amanatul Ummah terdapat Madrasah Diniyah yang ternya juga disiapkan untuk wahana praktik santri mahasiswanya.
Lainnya halnya dengan Kyai Sunartip Fadlan, beliau lebih memilih melibatkan santri mahasiswa dalam pengelolaan Pesma yang diasuhnya. Kyai muda kelahiran Jombang yang pernah mengabdi di Pondok Modern Arrisalah Slahung ini menegaskan, “Pelibatan santri dewasa dalam semua perencanaan, penyusunan persiapan berbagai program, penerapan dalam program hingga keseharian untuk kemudian diajak mengevaluasi capaian adalah salah satu langkah model pendidikan pengajaran Pesantren Mahasiswa Al-Mutawakkil kepada mereka.”
Menilik konsep andragogi yang dikembangkan di dua di atas, nampaknya keduanya lebih pemenuhan pengembangan diri. Pondok Pesantren Sunan Kalijaga Puyut Plalangan agak sedikit berbeda, karena lebih memfokuskan pada layanan penunjang akademis mahasiswa di samping tetap menerapkan nilai-nilai pendidikan pesantren model salafiyah.
“Upaya kita adalah melakukan penyeimbangan antara tanggung jawab akademis kampus dan budaya pesantren, meskipun pada penerapannya ada beberapa penyesuaian. Seperti kita memfasilitasi internet untuk santri, memperbolehkan laptop dan hp yang notabene di pesantren salaf biasa diketati. Kita juga melakukan pelatihan jurnalistik, desaign grafis, publik speaking utamanya untuk membakali santri siap menghadapi perang di media sosial. Jadi selain santri menguasai kitab kuning yang merupakan keharusan, mereka juga harus mengikuti kemajuan tehnologi dan informasi,” kata Kyai Muhammad Busro.
Gambaran ketiga Pesma di atas menunjukkan pendidikan andragogi menjadi pendekatan yang utama, meskipun aplikasi pendidikan nilai pesantren disikapi dengan cara yang berbeda-beda.