NU PONOROGO

Official Website PCNU Ponorogo

Perkembangan Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah An-Nadliyah di Ponorogo

KH. Imam Muhadi, Mursyid Tarekat Qodriyah wa Naqsyabandiyah an Nadliyah serta pendiri Pondok Pesantren Mamba’ul Adiem Bagbogo Tanjunganom Nganjuk.

Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, salah satu tarekat tertua dan terbesar di Indonesia, memiliki sejarah panjang dan mendalam di Jawa Timur. Tarekat ini telah membentuk lanskap sosial, budaya, dan keagamaan di wilayah ini selama berabad-abad.

Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah merupakan gabungan dari dua tarekat besar, Tarekat Qadiriyah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dan Tarekat Naqsabandiyah dari Syekh Bahauddin Naqshbandi. Tarekat ini menekankan pentingnya dzikir, tasawuf, pengabdian kepada Allah SWT dan kepedulian sosial.

Syekh Ahmad Khatib Sambas memperkenalkan tarekat ini ke Indonesia melalui murid-muridnya, seperti Syekh Abdul Karim Banten dan Ahmad Hasbullah. Ahmad Hasbullah dikenal sebagai sosok yang kharismatik dan memiliki pengaruh yang luas. Melalui beliau, tarekat ini semakin mengakar di tanah Jawa.

Kyai Khalil dari Bangkalan membawa tarekat ini ke Jawa Timur dan menikah dengan putri Kyai Tamim, pendiri Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang. Kyai Romli Tamim dan putranya, Kyai Mustain Romli, melanjutkan tradisi tarekat ini. Di bawah kepemimpinan mereka, Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso menjadi pusat penyebaran tarekat di Jawa Timur.

Kyai Imam Muhadi adalah khalifah Kyai Mustain Romli di daerah Nganjuk, Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan. Beliau diangkat menjadi mursyid untuk wilayah barat Sungai Brantas. Pada masa pemerintahan Orde Baru, Kyai Mustain Romli memerintahkan Kyai Imam Muhadi melengkapi kemursyidan An-Nadliyah ke Kyai Muslih Mraggen. Sanadnya naik ke Kyai Ibrahim Muslih, Syekh Abdul Karim Banten, dan akhirnya bertemu lagi di Syekh Kotib Sambas.

Kyai Imam Muhadi dan diteruskan oleh Kyai Ali Barqul Abid melanjutkan estafet kepemimpinan Tarekat Qodriyah wa Naqsabandiyah An-Nadliyah di Jawa Timur wilayah barat. Keduanya berhasil mempertahankan dan mengembangkan tarekat ini. Pondok Pesantren Manbaul Adhiem di Nganjuk menjadi pusat dakwah dan pengembangan tarekat.

Tidak hanya di Jawa Timur, lewat santri-santri mondok di Pondok Pesantren Mamba’ul Adiem Nganjuk, tarekat berkembang di daerah asal santri seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, pulau Sumatera.

Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah An-Nadliyah berdampak positif terhadap masyarakat: meningkatkan kesadaran spiritual, membentuk karakter generasi muda, mengembangkan kepedulian sosial dan menjaga keharmonisan beragama.

Kyai Ali Barqul Abid, Baiatan dan Pengajian di masjid Jami Tegalsari setiap Ahad malam Senen Kliwon.

Meningkatnya minat anak muda terhadap tarekat ini disebabkan oleh pendekatan dari Kyai Imam Muhadi yang lebih luwes, serta dijaman Kyai Ali Barqul Abid kesempatan bertemu guru lebih mudah seiring majunya media sosial, rekomendasi teman sebaya dan pencarian makna hidup anak-anak muda.

Baiatan dan Pengajian di Masjid At Taqwa Ngunut Babadan, di dominasi anak muda anak band.

Fenomena ini membawa dampak positif, peremajaan regenerasi tarekat dan masuknya anak muda membawa energi baru.

Tarekat ini menghadapi tantangan, menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas, mencegah pergeseran nilai dan membina konsistensi generasi muda.

Kegiatan baiatan dan pengajian setiap selapan (35 hati) di hampir 25 tempat di Ponorogo, seperti halnya di masjid Tegalsari setiap Ahad malem Senen Kliwon bakda jamaah sholat isya.

Penulis : Nanang Diyanto

Jamaah Thoriqoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah an Nadliyah, LKNU, Perawat Kamar Operasi di RSUD dr Harjono Ponorogo, Penulis di Kompasiana.

Informasi terkait:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *