NU PONOROGO

Official Website PCNU Ponorogo

Ndoro Mantri “Raden Martopuro”, Pahlawan yang Terlupakan

Makam Raden Martopuro di Pelem Gurih, orang sekitar menyebutnya Mbah Mantri

Dibalik sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan, tersimpan kisah heroik yang seringkali terlupakan. Salah satunya adalah kisah Raden Martopuro, seorang bangsawan dari Ponorogo yang berani melawan penindasan Belanda.

Raden Martopuro, keturunan Bupati Ponorogo pertama, Raden Katong, sejak muda telah menanamkan semangat juang. Bersama sahabat karibnya, Nurkandam, mereka berguru pada Kanjeng Jimad Bupati Pacitan dan bersumpah setia satu sama lain dalam suka dan duka.

Ngisor galeng nduwur galeng, mbeguru bareng mati yo bareng” janji mereka semasa muda.

Ketika Perang Diponegoro berkecamuk, atas perintah Kanjeng Jimad keduanya bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro yang sedang mengungsi sambil perang gerilya di daerah Nglorok Pacitan dan Baosan (pegunungan perbatasan Ponorogo-Pacitan). Sementara Ponorogo dikuasai oleh pemerintahan Belanda yang dipimpin oleh seorang asisten Residen.

Menjelang berakhirnya perang Diponegoro mereka diberi pilihan oleh Pangeran Diponegoro ketika mencapai perbatasan Gupernemen (batas wilayah pemeritahan Kasunanan dengan wilayah yang dikuasai pemerintah Belanda). Mereka boleh terus ikut ke Jawa Tengah atau kembali ke daerahnya masing-masing. Raden Martopuro memilih pulang ke Bungkal kerumah orangtuanya, sementara Nurkhandam kembali ke desanya di Bandar Alim.

Sepulangnya di kampung Raden Martopuro menjabat sebagai Mantri Gudang Kopi di Bungkal, menggantikan ayahnya yang sudah meninggal dunia.

Taman Makam Pahlawan Ponorogo, Cikal bakalnya tempat pembuangan mayat dua sahabat Martopuro dan Nurkandam

Perlawanan Melalui Cara Cerdik

Di bawah pemerintahan kolonial Belanda, rakyat dipaksa menanam kopi dengan harga beli yang sangat rendah. Banyak rakyat yang menderita akibat kebijakan ini. Melihat penderitaan rakyatnya, istri Raden Martopuro, seorang wanita cerdas, punya ide untuk menyelundupkan kopi. Ia mengajari para perempuan untuk menyembunyikan kopi di dalam perut mereka, seolah-olah sedang hamil.

Aksi penyelundupan ini berhasil mengelabui Belanda selama beberapa waktu. Kisah ini terkenal dengan “Meteng Pitung Beruk”.

Namun, akhirnya ketahuan juga. Istri Raden Martopuro ditangkap dan dihukum. Marah dan sedih melihat istrinya diperlakukan sedemikian rupa, Raden Martopuro bertekad membalas dendam.

Menjelang peringatan pergantian tahun (peringatan malam tahun baru) 31 Desember 1882 tuan asisten Residen Antonny Willem Viensem mengadakan peta pergantian tahun baru di pendopo, semua pegawai mulai berpangkat rendah sampai tinggi wajib menghadiri dengan berbaju Jawa beskap. Raden Martopuro-pun juga hadir.

Ketika pesta berakhir Raden Martopuro merayu kepada pegawai asisten untuk bisa menghadap tuan Asisten Residen, pesannya ia akan meminta maaf atas kejadian di gudang kopi Bungkal.

Ketika itu tuan Asisten Residen sudah berganti pakaian tidur namun begitu ia mau bertemu dengan Raden Martopuro di Pendopo (ruang pertemuan depan). Tuan asisten Residen kurang waspada ketika mengulurkan tangan akan bersalaman dengan cepat Raden Martopuro menghunuskan kerisnya ke perut tuan asisten Residen. Sehabis membunuh tuan asisten residen, Raden Martopuro masih membunuh pengawal dan pegawai asisten lalu melarikan diri.

Malam itu juga Ponorogo geger, pegawai Belanda setingkat wakil gubernur dibunuh pribumi, tentara Belanda dari Madiun dikerahkan untuk menangkap Raden Martopuro. Karena tidak berhasil menagkapnya, maka anak, istri, serta ibu Raden Martopura ditangkap dan dijebloskan ke penjara.

Pemerintahan Belanda mengadakan sanyembara barang siapa yang bisa menagkap Raden Martopuro hidup atau mati akan diberi imbalan.

Bon Rojo. Kebon Rojo cikal bakal TMP Ponorogo

Bupati Ponorogo kala itu juga bingung dan kena getahnya karena warganya ada yang berani membunuh pejabat tingi Belanda. Bupati Ponorogo kalau itu Raden Martonegoro mencari wangsit di makam Raden Katong dan mendapatkan petunjuk bahwa hanya saudara seperguruannya yang tahu tempat dan kelemahan Raden Martopuro yang tak lain Nurkandam.

Seperti buah simala kama bagi Nurkandam, namun demi meyelamatkan anak, istri, dan ibu Martopuro ia merayu Raden Martopuro untuk menyerah. Akhirnya Raden Martopuro menyerah dan dijatuhi hukuman mati. Malam menjelang hukuman mati Nurkandam menemui Raden Martopuro di penjara, dan pada waktu pertemuan tersebut Raden Martopuro mencabut keris Nurkandam dan menghujamkan ke perutnya (bunuh diri) sehinga bersimbah darah, akhirnya Nurhandam ditangkap dianggap yang membunuh Raden Martopuro. Mayat Raden Martopuro dibuang di pembuangan sampah belakang Kantor Asisten Residen (Sekitar SMPN 6 Ponorogo).

Nurkandam paginya dihukum mati oleh Belanda di depan masyarakat dan mayatnya dikubur di belakang kantor asisten residen. Rupanya Raden Martopuro hanya pingsan dan malam itu juga ia bisa berjalan merangkak sampai perbatasan Kertosari – Mangunsuman yang disebut daerah Pelem Gurih. Di sana Raden Martopuro sempat menceritakan peristiwa yang sebenarnya pada warga yang ditemuinya. Setelah selesai bercerita Raden Martopuro menghembuskan nafas yang terakhir kali dan dikuburkan oleh warga sekitar kuburan Pelem Gurih.

Kejadian kematian tuan Asisten Residen Belanda, Raden Martopuro dan Nurkandam di atas merupakan aib bagi Ponorogo. Siapa saja dilarang menceritakan. Belanda malu, begitupun pemerintahan Ponorogo, siapa saja yang kedapatan mempergunjingkan mendapat hukuman.

Begitu juga kuburan Nurkandam yang dibelakang kantor asisten residen tidak boleh dikunjungi siapa saja, dan dipagari menggunakan nanas hutan agar tidak bisa dimasuki, pencari rumputpun dihukum bila merumput di daerah tersebut. Banyak orang yang masih mengira kuburan raden Martopuro di dekat kuburan Nurkandam saudara seperguruannya.

Oleh tuan Asisten Residen yang baru lokasi tersebut diberi kawat berduri dan di atas kuburan Nurkandam ditanami pohon sono. Dan dipagari mirip gapura cina yang hanya bisa dilewati dari kantor asisten residen. Taman tersebut dinamakan taman Adiwarno, namun masyarakat lebih sering menyebutnya Kebon Rojo sampai sekarang.

Banyak orang yang mengira kalau Nurkandam berkhianat pada Raden Martopuro dengan mengharap hadiah dari Belanda.

Setelah Indonesia merdeka, kantor asisten residen dijadikan markas tentara. Atas gagasan kepala penerangan kabupaten Ponorogo Rasad Siswosanyoto tempat digunakan untuk mengubur prajurit atau tentara yang gugur pada jaman agresi dan peristiwa kurban PKI tahun 1948. Kini tempat tersebut menjadi Teman Makam Pahlawan Ponorogo.

Di daerah kuburan Pelem Gurih (Mangunsuman) belakang bak sampah, banyak yang tidak mengenal kuburan Raden Martopuro. Warga sekitar lebih mengenal kuburan Mbah Mantri. Sementara orang Bungkal sekitar gudang kopi juga menyebut Raden Martapuro dengan sebutan “Ndoro Mantri”.

Pedagang di pasar sepeda (pasar loak) menyebut “Raden Martopuro” adalah pahlawan yang pertama darahnya tertumpah di makam pahlawan Bon Rojo ini meski jasadnya tidak dikebumikan di taman makam pahlawan. Menurut cerita para pedagang sepeda pada waktu pemugaran pagar, hanya ditemukan satu kerangka di bawah pohon sono, dan mereka menyakini hanya Nurkandam yang jasadnya dikubur di bawah pohon ini, sehingga mereka yakin yang dikubur di Pelem Gurih adalah jasad Raden Martopuro.

Semoga tulisan ini bisa disempurnakan oleh pembaca lainnya, sehingga didapatkan cerita yang sebenarnya. Semoga pemerintah kabupaten Ponorogo mendapatkan masukan tentang hal ini, dan mohon maaf bila ada yang tidak pas dalam cerita ini. Tapi begitulah sejarah tergantung pada rezim di mana rezim tersebut berkuasa.

Penulis: Nanang Diyanto

Jama’ah Thoriqoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah an Nadliyah Sanad Kyai Imam Muhadi, LKNU, Perawat Kamar Operasi di RSUD dr Harjono Ponorogo.

Informasi terkait:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *