NU PONOROGO

Official Website PCNU Ponorogo

Tumenggung Jayengrono, Sang Bhayangkara yang Menyatu dengan Bumi

Gapura utama makam Tumenggung Jayengrono

Jayengrono, meski darah bangsawan mengalir dalam dirinya, ia memilih menyamar sebagai rakyat biasa di desa Kranggan, Sukorejo. Di sana, ia bukan sekadar menyatu dengan alam, namun juga dengan hati rakyat. Setiap malam, ia menjelajahi desa, menjadi penjaga yang setia, melindungi mereka dari ancaman yang mengintai.

Ketika badai politik mengguncang Kasunanan Surakarta, menjadi awal pertemuan Jayengrono dengan Sunan Pakubuwono II. Keduanya bertemu di desa Kranggan Sukorejo. Kebaikan budipekertinya menarik perhatian Sinuwun. Jayengrono diminta untuk nderekne (mengawal) selama bertirakat dalam pelarian di daerah Pulung, Sawoo, Bayangkaki, Tegalsari, Menang, sampai kondur merebut tahtanya kembali.

Dari perjalanan tersebut terkuak asal usul Jayengrono yang masih keponakannya. Jayengrono adalah putera Raden Mas Sasangka atau Adipati Harya Metaun adipati di Jipang (Bojonegoro). Beliau masih trah dari Sunan Pakubuwono dari garwo selir.

Sebagai hadiah tahun 1745 Jayengrono diberi jabatan bupati dan mendapat gelar tumenggung. Bupati Ponorogo Raden Surobroto lalu mempersilahkan Tumenggung Jayengrono memilih sendiri tempat yang akan menjadi wilayahnya untuk membuka lahan. Daerah tersebut sekarang menjadi daerah Siman, Mlarak, dan Pulung. Kala itu bernama kabupaten Pedanten yang berpusat di daerah Patihan Kidul Siman. Di tanah inilah, Jayengrono menorehkan jejak keemasan. Ia bukan hanya seorang pemimpin yang tegas, tetapi juga seorang sufi yang mendalami ilmu agama.

Setiap malam, ia berkeliling wilayahnya, menyapa rakyatnya, dan membimbing mereka menuju jalan yang benar. Rakyat pun menjulukinya Kyai Sambang Dalan, sang guru yang selalu hadir di tengah-tengah mereka.

Komplek makam Tumenggung Jayengrono di desa Pulung Merdiko, sisi dalam.

Menjelang masa tuanya beliau memilih menghabiskan masa tuanya di daerah Pulung sambil mengajarkan agama Islam di derah ini sampai meninggal tahun 1780. Daerah Pulung tempat beliau dimakamkan oleh Sunan Pakubuwono ke III diberikan kebebasan pajak menjadi desa perdikan. Hal inilah awal nama desa Pulung Merdiko. Anak keturunanya menjadi bupati Ponorogo dan Caruban turun temurun, mungkin hal ini yang membuat alasan para peziarah menjelang pilkada ataupun pilihan kepala desa, sendang derajat.

Makamnya menjadi tujuan ziarah bagi banyak orang, tidak hanya dari kalangan kerabat dan keluarga, tetapi juga dari masyarakat luas. Mereka datang untuk menghormati jasa-jasanya, meminta berkah, dan memohon perlindungan kepada Allah di tempat yang diyakini mustajab.

Mitos yang berkembang di makam beliau, siapa saja yang yang dimakamkan di komplek makam dalam, kalau bukan keturunan Tumenggung Jayengrono malam harinya akan muncul macan yang akan menggali dan mengeluarkan jasad orang yang baru dikubur tersebut. Sehingga sampai sekarang kalau bukan nasabnya tidak berani dikubur di komplek dalam.

Kisah hidup Jayengrono adalah cerminan dari nilai-nilai luhur bangsa. Ia mengajarkan kita tentang pentingnya kesederhanaan, kejujuran, dan pengabdian kepada masyarakat. Ia juga mengingatkan kita akan sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan dan membangun peradaban.

Penulis: Nanang Diyanto,

Jama’ah TQN-A Sanad Kyai Imam Muhadi, Perawat Kamar Operasi RSUD Harjono Ponorogo.

Informasi terkait:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *