Tahun 2025 menjadi momentum reflektif dan proyektif bagi dua badan otonom terbesar Nahdlatul Ulama—GP Ansor yang genap berusia 91 tahun dan Fatayat NU yang mencapai usia 75 tahun. Kedua organisasi ini telah lama menjadi ruang kaderisasi strategis dalam membentuk generasi muda Nahdliyin yang militan, moderat, dan visioner. Di usia yang matang ini, tantangan baru dan peluang besar datang bersamaan: bagaimana menguatkan kaderisasi di tingkat lokal, sambil menyambut peran diaspora sebagai kekuatan kaderisasi global.
Sejak awal kelahirannya, GP Ansor dan Fatayat NU hadir sebagai jawaban atas kebutuhan regenerasi kepemimpinan umat dan bangsa. Melalui berbagai jenjang kaderisasi—baik PKD, Diklatsar Banser, maupun pelatihan kepemimpinan Fatayat—lahirlah kader-kader yang kokoh secara ideologi dan teruji dalam praktik sosial. Kaderisasi lokal bukan hanya urusan formalitas organisasi, tapi menjadi wahana pematangan spiritual, intelektual, dan sosial.
Di desa-desa, kader GP Ansor dan Fatayat NU menjadi motor penggerak pendidikan keagamaan, penguatan ekonomi umat, hingga penjaga tradisi keislaman yang santun. Seperti pesan KH. Hasyim Asy’ari, “Barang siapa yang menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik, maka dialah yang bijaksana.” Tradisi kaderisasi lokal adalah warisan lama yang terbukti membentuk karakter ke-NU-an yang membumi.
Namun, seiring dinamika global, banyak kader muda NU kini tinggal di luar negeri—menempuh studi, bekerja, atau berorganisasi lintas negara. Fenomena ini menciptakan ruang baru untuk kaderisasi: diaspora. Simpul-simpul kaderisasi di luar negeri kini mulai tumbuh, seperti GP Ansor Taiwan, Jepang, Australia, dan Fatayat NU di negara-negara Eropa. Mereka membawa semangat yang sama—menghidupkan nilai Aswaja di tengah pluralitas global.
Gus Dur pernah berpesan, “Islam harus menjadi solusi, bukan sumber masalah.” Kader diaspora menjawab pesan ini dengan menjadikan Islam Nusantara sebagai narasi damai dalam diskusi lintas agama, hak asasi manusia, dan keadilan sosial. Kegiatan pengajian rutin, pelatihan digital, hingga advokasi perlindungan pekerja migran menjadi bagian dari wajah baru kaderisasi global NU.
Sinergi Lokal-Global: Strategi Kaderisasi Abad Kedua
Ke depan, penting untuk merancang sistem kaderisasi yang menyambungkan dua level ini—lokal dan diaspora. Kaderisasi lokal harus tetap menjadi poros utama, dengan menjaga kualitas ideologis dan kemandirian gerakan. Sementara itu, diaspora bisa menjadi mitra strategis untuk memperluas jejaring, membuka kolaborasi lintas negara, dan memperkaya narasi keislaman Indonesia di kancah dunia.
GP Ansor dan Fatayat NU perlu mengembangkan platform digital terpadu, pengakuan formal terhadap jenjang kaderisasi diaspora, serta pelatihan lintas konteks budaya dan geopolitik. Hanya dengan sinergi keduanya, kaderisasi NU akan benar-benar siap menyambut abad kedua dengan arah baru yang relevan secara lokal dan global.
Usia 91 tahun GP Ansor dan 75 tahun Fatayat NU adalah penanda kematangan organisasi dan kekayaan sejarah kaderisasi. Tapi lebih dari itu, usia ini juga menjadi titik tolak untuk membangun masa depan. Dengan memperkuat kaderisasi lokal sebagai akar, dan mengembangkan diaspora sebagai cabang yang merentang ke penjuru dunia, keduanya menjadi bagian dari ikhtiar besar NU dalam membawa Islam rahmatan lil ‘alamin, dari kampung hingga ke dunia internasional.
Penulis: Dr. Idam Mustofa, M.Pd./Ketua PCNU Ponorogo