
Suasana sore di Pondok Pesantren Nglawak, Kertosono, Nganjuk, pada Akhir 2001-an itu tak biasa. Kyai Haji Abdurrahman Wahid, yang baru saja lengser dari kursi presiden, duduk santai di kursi sofa, dikelilingi puluhan santri dan tokoh lintas agama. Tak ada mimbar, protokol, atau pengawal berlebihan.
Saya, bersama beberapa teman, ditelepon oleh Pak Yadi, guru kami yang sedang berada di kompleks makam Syekh Bisri, Baron.
“Gus Dur arep tindak Nglawak. Mreneo iki sejarah,” pesannya singkat.
Saat tiba, suasana sudah penuh. Tokoh agama Kristen, Katolik, Buddha, bahkan Khonghucu, yang baru diakui negara berkat kebijakan Gus Dur, duduk santai di kursi sofa yang berhadap-hadapan, menyatu dengan kiai-kiai nahdliyin.
Banyak yang mengira Gus Dur akan bicara soal “pengkhianatan” politik yang menjatuhkannya. Ternyata tidak. Dengan suara parau dan senyum khas, beliau justru membahas kemanusiaan: “Kita ini sama. Di mata konstitusi, kita warga negara. Di mata Tuhan, kita hamba yang harus adil pada sesama.”
Sesi tanya-jawab memantik diskusi tajam. Seorang tokoh agama non-Muslim bertanya: “Jika Gus Dur menghormati kami, apakah itu berarti mengakui Tuhan kami?”
Gus Dur tersenyum, lalu menjawab dengan gaya khasnya yang blak-blakan: “Lho, ya ndak!!” Toleransi itu saya menghormati anda sebagai manusia beragama, bukan mengakui teologi Anda. “Lakum dīnukum wa liya dīn“, itu sudah final!!!
Ruangan senyap sejenak. Lalu beliau melanjutkan: “Al-Qur’an surat Al-Kafirun itu jelas: Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Saya tak boleh kompromi soal akidah, tapi saya juga tak boleh menindas manusia hanya karena beda keyakinan. Tugas kita memanusiakan manusia, bukan menyamakan Tuhan.”
Gus Dur lantas berfilsafat: “Tuhan itu Maha Sak Penake Dewe, se-Kehendak-Nya. Hari ini saya kiai, besok mungkin jadi ‘kafir’ versi orang. Sampeyan yang dianggap kafir, bisa saja esok diangkat Tuhan jadi lebih taat daripada saya.”
Pernyataan ini bukan relativisme, melainkan pengakuan akan keterbatasan manusia. Baginya, status “kafir” atau “taat” bukanlah cap abadi, itu hak prerogatif Tuhan. Tugas manusia hanya merawat martabat kemanusiaan, tanpa merasa paling suci atau berhak menghakimi.
Pertemuan di Nglawak adalah miniatur Indonesia yang Gus Dur impikan: ruang di mana perbedaan diperdebatkan dengan santun, tanpa mengorbankan prinsip. Beliau membuktikan bahwa ketegasan akidah tidak harus berbenturan dengan penghormatan pada pluralitas.
Di era kini, di mana politik identitas kerap dijadikan senjata, pesan Gus Dur di Nglawak relevan direnungkan. Toleransi sejati bukanlah “mengiyakan semua”, tetapi kemampuan untuk bersikap jernih.
Berdiri di akar sendiri tanpa merusak akar orang lain,
Berdebat tanpa benci
Menghormati manusia, sekaligus tahu batas teologis.
Saat Gus Dur beranjak dari kursi sofa, tepuk tangan riuh mengisi pelataran pesantren. Saya masih ingat sorot matanya lelah tapi penuh keyakinan. Hari itu, beliau tak hanya meninggalkan kata-kata, tetapi teladan: menjadi “nahdliyin” sekaligus “pluralis” bukanlah kontradiksi, melainkan panggilan luhur untuk merawat Indonesia tanpa kehilangan jati diri.
Seperti senja di Nglawak, warisan Gus Dur mungkin tak lagi terang benderang, tetapi cahayanya tetap membimbing kita di tengah gelapnya intoleransi.
Penulis: Nanang Diyanto/ LKNU Ponorogo
*Tulisan ini diadaptasi dari kisah nyata penulis dan refleksi atas pertemuan dengan Gus Dur di Nganjuk, 2001.