NU PONOROGO

Official Website PCNU Ponorogo

Tim Relawan : “Maaf, malaikat datang lebih cepat”

Basecamp Tim Relawan di TPST Tonatan
Basecamp Tim Relawan di TPST Tonatan

NU Online Ponorogo – Jarum jam menunjuk angka 3, di bawah pancaran sinar matahari yang menyengat sore itu. Hape yang tergeletak di atas meja itu tetiba berdering. Si pemilik hape yang sedang berbincang santai dengan seseorang, langsung mengangkat panggilan itu. Dia terdiam sesaat, mendengarkan si penelpon berbicara. “Nggih, siap. Segera meluncur,” kata Muhibbudin, salah satu anggota Tim Relawan LPBI NU Ponorogo.

Wajahnya berubah agak serius. Dia berdiri lalu berjalan menghampiri rekan-rekannya yang tengah asyik bersantai. Ada yang sedang tidur pulas, ada yang sekedar rebahan melepas lelah sembari bertelanjang dada. “Kirim oksigen ke Sukosari, butuh segera. Ayo cepetan,” Muhibbudin yang kerap disapa Ndan Muhib mulai mengomando rekan-rekannya.

Ternyata, panggilan telpon tadi berasal dari salah seorang warga yang tinggal di Desa Sukosari, Kecamatan Babadan. Si penelpon tadi mengabarkan bahwa oksigen yang kemarin dikirim sudah hampir habis. Dia menelpon tim relawan agar disediakan lagi tabung oksigen.

Para relawan itu segera bergegas mempersiapkan diri. Alif berjalan menuju mobil Isuzu Panther bertuliskan SMK A. Wahid Hasyim. “Alhamdulillah, kita dipinjami mobil ini untuk operasional tim relawan,” ujar Alif sembari mengecek kondisi mobil. Setelah dirasa aman, Alif pun mulai memanasi mesinnya. Selain Isuzu Panther, juga ada Toyota Kijang LGX milik PCNU Ponorogo, dan Daihatsu Grand Max pinjaman dari Bendahara LPBI NU Ponorogo. Ketiga mobil itu selalu siap di lokasi.

Sementara Fatkhuradji dan Adhika mengambil 2 kardus bekas air mineral, dimasukkan ke mobil. Kardus itu berisi face shield, masker, sarung tangan, regulator, oxymeter, serta beberapa perlengkapan sederhana lainnya. “Ada uang berapa itu,” tanya Ndan Muhib.

Adhika mengambil buku besar yang di covernya tertulis Catatan Relawan, lalu membukanya. “Wah, kurang Ndan duitnya,” kata Adhika pelan. “Ya sudah, kita cari pinjaman duit dulu,” timpal Ndan Muhib.

Sejurus kemudian, kendaraan tua yang mengangkut para relawan melesat meninggalkan TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu, Red) yang selama ini dijadikan basecamp para Relawan LPBI NU Ponorogo. Tepat pukul 15.15 WIB, tim bergerak. Alif mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Bergerak menuju Desa Sukosari, Kecamatan Babadan. Dari basecamp, jaraknya kurang lebih sekitar 12 km.

“Kita sebenarnya ada sembilan tabung. Semua sudah terdistribusi ke rumah warga yang isoman. Kalau saja ada stok di basecamp, akan lebih manfaat. Karena begitu ada yang telpon, bisa langsung kita kirim tabung yang sudah terisi, nanti yang kosong kita tarik untuk kita isikan,” ungkap Ndan Muhib.

Sampai di lokasi, para relawan langsung masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah yang beralas semen itu, beberapa meja kursi dipinggirkan. Di tengahnya hanya ada hamparan tikar. Di atas tikar, terbaring sesosok pria paruh baya dengan selang oksigen menancap di hidung. Nafasnya terlihat sudah sangat berat dan terengah-engah. Beberapa anggota keluarga menunggu di sebelahnya.

“Kemarin waktu kita datang pertama, saturasinya hanya tiga puluh lima sampai empat puluh. Setelah kita pasangkan oksigen, alhamdulillah pelan-pelan mulai naik,” bisik Alif yang sehari sebelumnya sudah ke lokasi untuk memasang tabung oksigen.

Melihat kondisi orang itu, Tim Relawan seolah tak ingin buang waktu. Tabung oksigen secepatnya diambil lalu dimasukkan ke mobil. Dan….wussss !!! Alif memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Menyusuri jalan-jalan di pedesaan yang bertabur lubang di mana-mana. Beruntung, sebagian besar relawan adalah kader banser yang siap dan teruji dalam segala suasana.

Dia sadar betul bahwa tim ini harus secepat mungkin mengisikan tabung oksigen untuk dipasang kembali. Padahal, lokasi pengisian oksigen yang bisa ready setiap saat hanya ada di pinggiran Kabupaten Madiun. Tepatnya di Kecamatan Dolopo, sekitar 15 km dari Desa Sukosari.

Keluar dari jalur pedesaan, masuk ke jalur antar kota dalam provinsi. Di sini tantangannya beda lagi. Padatnya lalu lintas menjadi penghambat perjalanan. Meski begitu, Alif memacu mobilnya hingga kecepatan 100 km/jam. Bak Tim Buser yang sedang memburu TO (Target Operasi, Red). Hampir setiap lampu merah terpaksa harus diterjang. Entah berapa banyak pengendara yang menganggap mobil yang ditumpangi Tim Relawan ini ugal-ugalan. Padahal, semua dilakukan demi menyelamatkan nyawa seseorang.

Usai mengisikan oksigen, tim kembali ke Desa Sukosari. Sepanjang jalan, Ndan Muhib dan Adhika berusaha menghubungi relawan lainnya. Mereka berharap, ada tabung oksigen yang sudah terisi tapi belum terpakai untuk dikirim ke Desa Sukosari secepatnya. Sayangnya nihil. Satu-satunya yag ada hanyalah tabung oksigen yang sedang dibawa tim ini.

Mobil berbelok ke jalan menuju tujuan. Alif mulai melambatkan mobilnya. Mendadak semua yang di dalam mobil membisu sesaat. Berusaha menduga-duga apa yang sedang terjadi. Di depan rumah orang yang akan dipasangi tabung oksigen, terlihat ada 2-3 warga sekitar. Saat mulai mendekat, tiba-tiba loudspeaker musala persis di depan rumah orang itu sedang menyampaikan kabar duka.

Innaalillaahi wa inna ilaihi raa’jiuun. Sampun kapundut dateng ngarsanipun Gusti Allah. Bapak Senun….bla…bla…bla,” begitu suaranya.

Sontak, semua relawan yang di dalam mobil nafasnya seolah terhenti sesaat. Para relawan itu saling berpandangan. Tak sepatah kata pun terucap. Alif langsung menghentikan mobil, lalu mundur pelan-pelan. “Maaf….malaikat datang lebih cepat dari kami. Mau gimana lagi. Kita sudah berusaha semaksimal mungkin,” kata Alif.

Andai saja ada tabung oksigen lebih banyak sehingga tidak harus ada jeda. Andai saja ada relawan lain yang khusus memantau perkembangan medis, terutama dalam situasi kritis seperti itu. Andai saja ada relawan yang khusus menjamin keterpantauan pasien dengan faskes terdekat. Mungkin akan ada lebih banyak nyawa yang terselamatkan. Kecuali memang Tuhan berkendak lain.

Jelang maghrib, Tim Relawan putar haluan kembali ke basecamp.

“Solar masih cukup Lif,” tanya Ndan Muhib.

“Kalau sampai ke basecamp insya Allah masih. Tapi untuk giat nanti malam (kirim oksigen ke Mrican, Jenangan, Red), ya harus ngisi lagi,” jawab Alif.

Bagi Tim Relawan, mereka mengaku tidak takut terpapar Covid-19. Kalau pun takut, masih kalah dengan panggilan kemanusiaan yang senantiasa menggelora dalam setiap aliran darah para relawan. Yang penting menjalankan prokes, meskipun dengan standar yang paling rendah. Hanya bermodal maskser, sarung tangan dan hand sanitizier. “Yang ditakuti relawan itu hanya ada tiga. Satu ban bocor, kedua kehabisan bensin, dan yang ketiga kehabisan rokok,” kelakar Alif.

 

Reporter/Editor : Lege

Informasi terkait:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *