
NU Online Ponorogo– Dalam acara Halal Bihalal PCNU Ponorogo bersama Pemkab Ponorogo, Prof. Dr. KH. Luthfi Hadi Aminuddin, M.Ag., atau yang akrab disapa Kiai Luthfi, menyampaikan nasihat kebaikan dengan selipan humor khas pesantren. Acara yang dihadiri ratusan jamaah ini tidak hanya menjadi ajang silaturahmi, tetapi juga refleksi atas kearifan ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam menyelesaikan persoalan umat.
Kiai Luthfi mengisahkan sejarah Halal Bihalal yang digagas oleh KH Abdul Wahab Hasbullah. Saat negara dilanda konflik politik era Presiden Sukarno, Kiai Wahab menawarkan konsep Halal Bihalal sebagai sarana rekonsiliasi. “Ini kecerdasan ulama NU: menyulap silaturahmi menjadi tradisi yang membumi,” ujar Kiai Luthfi. Tradisi ini, menurutnya, adalah bentuk “living Qur’an” dan “living sunah”, di mana nilai-nilai agama diaktualisasikan dalam budaya.

Ia juga menceritakan kisah unik tentang perbedaan pendapat antara Kiai Wahab dan Kiai Bisri Syamsuri. Suatu keluarga ingin berkurban sapi untuk 8 orang, tetapi menurut Kiai Bisri, aturan syariat tak membenarkannya. Namun, Kiai Wahab memberikan solusi kreatif: “Tambahi 1 kambing sebagai ancik-ancik (pijakan) agar mudah menyembelih sapi.” Kiai Lutfi menegaskan, “Inilah kearifan ulama NU: tegas pada substansi, tapi fleksibel dalam metode.”
Dengan gaya khasnya, Kiai Luthfi berkelakar tentang kesulitan membedakan ibu-ibu Fatayat dan Muslimat. “Dulu dibedakan dari bau: wangi Fatayat, bau remashon atau obat gosok Muslimat. Sekarang semuanya wangi!” candanya, disambut tawa hadirin. Namun, ia menekankan bahwa perbedaan tak perlu menjadi penghalang. “NU sejak dulu diisi kyai macam-macam: yang keras seperti Kiai Bisri atau longgar seperti Kiai Wahab. Tapi mereka tetap satu dalam khidmah.”

Kiai Luthfi menjelaskan, tradisi seperti Halal Bihalal, tahlilan, dan simaan Al-Qur’an adalah bentuk konkret dari living Qur’an dan living sunah. “Lihatlah saat Lebaran: orang jadi dermawan, memaafkan, dan mengendalikan emosi. Ini refleksi Surat Al-Baqarah 177 dan Ali Imran 134-135 tentang ketakwaan,” paparnya. Meski tradisi ini kerap dianggap ‘hanya bertahan 7 hari’, Kiai Luthfi mengajak NU untuk terus membumikan nilai-nilai ini melalui kegiatan keagamaan yang relevan .
Mengutip prinsip dasar berkhidmah di NU, Kiai Luthfi menyebut dua hal: “jangan minta balasan” dan “jangan mengeluh”.
“Khidmah di NU adalah karunia, bukan ajang mengejar jabatan,” tegasnya. Ia juga menekankan peran ulama dalam memberikan optimisme sekaligus peringatan. “Ulama harus bijak: kapan harus kenceng (tegas) dan kapan harus longgar”
Di akhir acara, Kiai Luthfi berpesan agar generasi muda NU tak hanya mempertahankan tradisi, tetapi juga memperkuat kontribusi intelektual.
Acara ditutup dengan doa bersama dan saling bermaafan. Kiai Luthfi berharap semangat Halal Bihalal tidak hanya menjadi ritual tahunan, tetapi menjadi energi untuk memperkuat persatuan bangsa. “NU lahir untuk merawat keberagaman. Mari jadikan khilafiah sebagai warna, bukan pecah belah,” pungkasnya.
Kontributor: Nanang Diyanto/ LKNU Ponorogo