NU PONOROGO

Official Website PCNU Ponorogo

Apel Hari Santri: Memori Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan

Apel Hari Santri adalah mengingat perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia

Tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri telah berlalu. Namun bagi saya, momen terpenting dari seluruh rangkaian peringatan itu bukanlah seminar, lomba, atau festival budaya yang mengiringinya. Justru apel Hari Santri adalah inti yang paling mendasar. Apel menjadi penegasan identitas dan pernyataan sejarah bahwa keberlangsungan negeri ini tidak dapat dipisahkan dari perjuangan para santri dan ulama. Di titik itu, sejarah tidak hanya dikenang, tetapi dihadirkan kembali dalam barisan, sikap, dan penghormatan kolektif kepada para pejuang yang telah mengorbankan hidupnya.

Namun beberapa tahun terakhir, kita merasakan adanya gelombang titik jenuh. Hari Santri, yang dahulu disambut dengan semangat, perlahan dipandang sebatas rutinitas tahunan. Generasi muda mulai kehilangan hubungan emosional dengan kisah heroik Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, peristiwa monumental ketika para ulama menyerukan perlawanan mempertahankan kemerdekaan. Nilai keberanian, keikhlasan, dan kesediaan berjuang demi negeri seakan mulai memudar di tengah arus modernitas yang serba cepat dan instan. Sementara itu, sebagian kelompok lain merasa Hari Santri tidak identik dengan dirinya, seolah peristiwa ini hanya milik satu golongan tertentu. Sikap dingin seperti ini membuat jarak persepsi menjadi semakin lebar, padahal sejarah ini adalah sejarah Indonesia, bukan sejarah satu kelompok saja.

Sesungguhnya, tanpa peran santri dan ulama, perjalanan kemerdekaan bangsa ini tidak akan pernah sama. Resolusi Jihad adalah bukti bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hasil dari keberanian spiritual rakyat kecil yang bersandar pada keyakinan dan tanggung jawab keimanan. Karena itu, apel Hari Santri perlu terus dipertahankan. Apel bukan hanya formalisme baris-berbaris. Ia adalah ritual menjaga ingatan. Di dalam apel, generasi muda diingatkan bahwa negara ini tidak lahir dengan mudah, dan bahwa mempertahankan kemerdekaan adalah pekerjaan yang tidak kalah penting dari merebutnya. Apel juga menjadi ruang pertemuan berbagai elemen masyarakat, sehingga Hari Santri tidak menjadi klaim identitas eksklusif, tetapi menjadi simbol persatuan.

Hari Santri sesungguhnya bukan hanya tentang santri. Ia adalah representasi nasionalisme religius yang mengikat nilai keagamaan dengan komitmen kebangsaan. Ia adalah upaya membangun karakter bangsa di tengah tantangan moral, sosial, dan budaya yang terus berubah. Karena itu, semua komponen bangsa perlu peduli, bukan sekadar sebagai bentuk penghormatan historis, tetapi sebagai ikhtiar menjaga jiwa bangsa.

Agar Hari Santri tetap relevan, kita perlu mengemasnya dalam kerangka kebangsaan yang lebih inklusif. Sejarah Resolusi Jihad harus masuk ke ruang pendidikan karakter, bukan hanya diajarkan di pesantren, tetapi di sekolah-sekolah negeri dan swasta. Perayaan Hari Santri juga perlu menyentuh isu-isu kekinian seperti kemandirian ekonomi, inovasi digital, dan penguatan solidaritas sosial, sehingga ia terasa hidup dan berdaya. Pada saat yang sama, pemerintah daerah dan lembaga pendidikan harus memperlakukan apel Hari Santri sebagai bagian dari agenda kenegaraan tingkat lokal, sebagaimana kita memperlakukan peringatan Hari Kemerdekaan atau Hari Pahlawan.

Pada akhirnya, Hari Santri bukan sekadar mengenang masa lalu. Ia adalah cara kita membaca dan membentuk masa depan Indonesia melalui nilai-nilai pesantren: keteladanan, keikhlasan, kesederhanaan, dan keberanian moral. Dengan menjaga Apel Hari Santri, kita menjaga terang dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sebaliknya, ketika kita membiarkannya redup, kita membiarkan ingatan kolektif kita perlahan hilang. Dan ketika ingatan itu hilang, maka hilang pula arah perjalanan kita sebagai bangsa.

Penulis: Dr. Idam Mustofa, M.Pd., (Ketua PCNU Ponorogo)

Informasi terkait:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *