NU PONOROGO

Official Website PCNU Ponorogo

Ketika Layar Televisi Gagal Memahami Dunia Santri

Belakangan ini, warganet ramai membicarakan tayangan di salah satu program televisi Trans7 yang dianggap merendahkan dunia pesantren. Dalam salah satu segmennya, kehidupan santri dan Kiai di Pesantren ditampilkan dengan narasi yang melecehkan. Tayangan itu kemudian memantik gelombang kritik dan seruan #BoikotTrans7 di berbagai media sosial. Sekilas, sebagian orang non pesantren mungkin menganggap reaksi publik terlalu berlebihan. Namun jika kita perhatikan lebih dalam, problemnya bukan sekadar soal salah ucap atau kesalahan teknis dalam produksi acara. Masalahnya jauh lebih mendasar: cara media merepresentasikan pesantren — dan bagaimana bingkai naratif yang digunakan membentuk persepsi publik tentang dunia santri.

Media dan Cara Membingkai Dunia

Menurut Robert Entman, seorang ahli komunikasi politik, media tidak pernah menampilkan realitas apa adanya. Ia selalu memilih bagian tertentu dari kenyataan, menonjolkan aspek tertentu, dan mengabaikan bagian lain. Proses ini disebut framing — yaitu cara media mengarahkan perhatian publik agar melihat suatu isu dari sudut pandang tertentu. Dalam kasus Trans7, framing yang muncul adalah pesantren sebagai ruang yang kuno, penuh ketimpangan, dan berjarak dari dunia modern. Santri yang berkhidmah kepada Kiai — sebuah tradisi yang sarat makna spiritual — justru ditampilkan dengan narasi merendahkan. Akibatnya, publik yang tidak mengenal pesantren akan mudah menyimpulkan bahwa relasi di dalamnya timpang atau bahkan eksploitatif.

Padahal, dalam tradisi pesantren, khidmah bukanlah bentuk ketundukan buta. Ia adalah bagian dari proses pembentukan karakter dan spiritualitas. Santri membersihkan rumah Kiai atau membantu kebutuhan pesantren bukan karena dipaksa, tetapi karena ingin meneladani kehidupan sederhana dan melatih diri dalam pengabdian. Ini adalah bentuk pendidikan karakter yang mungkin sulit dipahami jika dilihat dengan kacamata industri atau hubungan kerja semata.

Representasi yang Keliru, Persepsi yang Terbentuk

Jika mengadaptasi teori Representasi dari Stuart Hall menyatakan bahwa media tidak sekadar menyalurkan pesan, tapi menciptakan makna. Ketika media menggambarkan suatu kelompok dengan cara tertentu, ia sedang membentuk “realitas sosial” di benak penonton. Dalam tayangan Trans7 itu, pesantren direpresentasikan secara simplistik — hanya dari potongan visual dan narasi yang dangkal. Akibatnya, pesantren dipersepsikan sebagai tempat di mana hierarki antara Kiai dan santri begitu tajam, tanpa ruang dialog, dan tanpa nilai kemanusiaan.

Representasi semacam ini bukan hanya tidak adil, tapi juga berbahaya. Ia memperkuat stereotip lama bahwa pesantren adalah lembaga tradisional yang tertinggal dan tidak relevan dengan dunia modern. Padahal, pesantren telah lama menjadi benteng moral bangsa, pusat pendidikan karakter, dan bahkan penggerak transformasi sosial di akar rumput.

Pesantren dan Ruang Suara yang Hilang

Kesalahan utama media seperti Trans7 bukan hanya soal cara bercerita, tapi juga soal siapa yang diberi ruang bicara. Dalam banyak tayangan, narasi tentang pesantren sering disampaikan oleh orang luar — jurnalis, komentator, atau pengamat — bukan oleh santri atau Kiai itu sendiri. Akibatnya, pesantren selalu menjadi objek cerita, bukan subjek narasi. Di sinilah letak ketimpangan representasi: pihak yang paling tahu tentang pesantren justru tidak diberi ruang untuk menjelaskan dirinya sendiri. Padahal, jika media mau sedikit lebih mendengar, mereka akan menemukan bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tapi juga pusat inovasi sosial, pemberdayaan ekonomi, bahkan pelopor moderasi beragama.

Belajar Menyimak, Bukan Menghakimi

Reaksi publik dengan seruan boikot sebetulnya adalah bentuk perlawanan simbolik terhadap cara pandang media yang merendahkan. Masyarakat, terutama warga pesantren, tidak ingin terus-menerus direduksi dalam narasi yang sempit dan salah kaprah. Mereka menuntut penghormatan terhadap tradisi, nilai, dan kontribusi pesantren bagi bangsa. Kritik ini juga menjadi pengingat bagi media arus utama untuk lebih berhati-hati. Dunia pesantren memiliki bahasa, logika, dan nilai yang tidak bisa disamakan dengan dunia urban. Maka, yang dibutuhkan bukanlah “romantisasi” pesantren, tetapi pemahaman yang adil dan berimbang. Media seharusnya berfungsi sebagai jembatan pengetahuan — bukan tembok prasangka. Jika terus menampilkan pesantren dari kacamata luar yang dangkal, maka media justru memperlebar jarak antara masyarakat dan akar budaya bangsa sendiri.

Penutup

Kita bisa belajar banyak dari kegaduhan ini. Bahwa di era digital, masyarakat kini lebih kritis terhadap cara media bekerja. Bahwa publik, terutama kalangan santri, tidak lagi diam ketika identitas mereka disalahpahami. Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama. Ia adalah ruang peradaban yang membentuk jutaan manusia Indonesia — dengan nilai kesederhanaan, kemandirian, dan cinta tanah air. Maka, tugas media seharusnya bukan menertawakan, tetapi memahami. Ketika televisi gagal melihat dunia santri dengan mata yang jernih, biarlah masyarakat pesantren menunjukkan bahwa kejernihan itu masih hidup — lewat keteduhan, ilmu, dan ketulusan yang tak lekang oleh bingkai kamera.

Penulis: Dr. Arik Dwijayanto, M.A (Wakil Rektor III INSURI Ponorogo dan Wakil Sekretaris PCNU Ponorogo)

 

Informasi terkait:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *