NU PONOROGO

Official Website PCNU Ponorogo

Lesbumi Ponorogo Pelopori Gerakan Literasi Sejarah

NU Online Ponorogo – Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PCNU Ponorogo bertekad menjadi pelopor gerakan literasi sejarah. Selain aktif menyelenggarakan kajian sejarah, Lesbumi Ponorogo juga menerbitkan sebuah buku sejarah lokal berjudul Kerajaan Wengker. “Ini adalah bukti nyata komitmen kami untuk menjadi pelopor gerakan literasi sejarah,” kata Ahmad Sauji, Ketua Lesbumi PCNU Ponorogo kepada NU Online Ponorogo, Selasa (6/10).

Ahmad Sauji yang lebih akrab dipanggil Jinggo mengatakan, kajian sejarah selama ini jarang diminati publik. Sejarah seolah hanya dipahami sebagai cerita masa lalu yang tidak punya arti. Tak heran jika bidang yang satu ini hanya digeluti oleh sejarawan atau pemerhati sejarah dari kalangan akademis. Padahal, Bung Karno sebagai founding father bangsa ini sudah mengingatkan betapa pentingnya sejarah melalui jargon JAS MERAH (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, Red).

Ketua Lesbumi Ponorogo Ahmad Saujik
Ketua Lesbumi Ponorogo Ahmad Saujik menyerahkan buku kepada Kepala Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Ponorogo

Karena itu, lanjutnya, Lesbumi akan terus menggiatkan kajian-kajian sejarah. Salah satunya melalui penerbitan buku yang mengisahkan tentang sejarah Kerajaan Wengker di Ponorogo. Buku setebal 43 halaman itu sudah diserahkan ke Pemerintah Daerah Kabupaten Ponorogo sebagai arsip. Proses penyerahan diwakili Kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Ponorogo, Dewi Wuri Handayani, S.Sos, Rabu (1/9) lalu.

Lebih jauh dikatakan Jinggo, aktivis Lesbumi di wilayah Mataraman beberapa kali menyelenggarakan kajian sejarah. Salah satunya mengupas tentang sejarah Kerajaan Wengker. “Dari kajian-kajian sejarah itu, saya ambil informasi dan data yang terkait dengan Kerajaan Wengker. Lalu saya kembangkan sendiri dengan mengunjungi situs-situs sejarah yang terkait dengan Kerajaan Wengker. Seperti Prasasti Sirah Keteng atau Prasasti Taji,” terang pria kelahiran Sooko ini.

Jinggo menuturkan, buku yang dicetak terbatas tersebut menyandarkan referensinya pada beberapa buku sejarah. Seperti Sejarah Para Raja dan Istri-Istri Raja Jawa karya Krisna Bayu Aji, Babad Ponorogo karya Purwo Wijoyo, Kandha Wahono Jilid 2 Kecamatan Babadan karya Purwo Wijoyo, Atlas Wali Songo-nya Agus Sunyoto, dan Kakawin Sumanasantaka karya S. Supmo. “Buku ini juga berdasarkan kajian dan penelitian Tim Pelestarian Budaya Lesbumi se-Mataraman,” tegas seniman berambut gondrong ini.

Jinggo mengaku, bahwa pengerjaan buku ini dilakukan secara maksimal. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari penggunaan kertas yang lux dan tebal, dicetak full colour, dan disertai foto-foto cagar budaya sebagai pendukung. Buku ini dicetak terbatas sebanyak 50 eksemplar, dan dibanderol harga Rp 50 ribu. Hasil penjualan buku ini, 10 persennya dialokasikan untuk menunjang operasional program Pelestariann Cagar Budaya Lesbumi PCNU Ponorogo.

Meski hanya setebal 43 halaman, buku ini mendapat apresiasi positif dari para pemerhati sejarah Ponorogo.  Jinggo berharap, buku ini sebagai pemantik para pemerhati sejarah untuk terus menggali sejarah Kerajaan Wengker yang belum terungkap seluruhnya. “Kami akan sangat terbuka jika ada masukan, sanggahan, atau apapun. Itu bisa kita diskusikan bersama. Bagi kami, yang penting kajian tentang sejarah menjadi lebih hidup,” pungkasnya.

 

Reporter : Idam

Editor : Lege

Informasi terkait:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *