NU PONOROGO

Official Website PCNU Ponorogo

Penyakit Bangsa Ini Adalah Tidak Mau Jujur Terhadap Sejarah

NU Onlie Ponorogo – Bangsa ini sedang mengidap penyakit yang cukup kronis. Penyakit ini bisa berakibat fatal. Karena bisa menyebabkan hilangnya jati diri sebuah bangsa serta ketidakmampuan dalam mengambil pelajaran dari masa lalu. Baik itu dalam bentuk sejarah kejayaan, maupun catatan-catatan kelam masa lalu. Itulah salah satu catatan penting yang terungkap dalam acara Seminar dan Bedah Buku bertajuk Menghidupkan Nilai-Nilai Kecendekiawanan, Keagamaan dan Kebangsaan Gus Dur, Sabtu (31/10) malam.

“Ada satu penyakit bangsa ini. Yaitu ketidakmampuan untuk jujur terhadap sejarah,” ungkap Dr. Ahmad Zainul Hamdi, M.Ag, salah satu narasumber. Acara yang digelar Pengurus Cabang Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Ponorogo dan dikemas secara onlineĀ itu menghadirkan 4 narasumber, serta Ketua PCNU Ponorogo, Drs. H. Fatchul Azis, M.A., sebagai keynote speaker sekaligus pembuka acara seminar. Selain Ahmad Zainul Hamdi, ketiga narasumber lainnya adalah Ketua PW ISNU Jatim Prof. H.M. Mas’ud Said, Ph.D., M.M., Dr. Aksin Wijaya, M.Ag., dan Rektor Institut Agama Islam Al-Falah Assuniyah (Kencong, Jember) Rizal Mumazzziq, M.H.I.

Ahmad Zainul Hamdi yang akrab disapa Inung ini mengatakan, sejarah merupakan faktor penting dalam kehidupan berbangsa. Pasalnya, identitas bangsa akan hancur jika bangsa itu melepaskan diri dari masa lalunya. Bangsa yang tidak mau jujur terhadap sejarah, juga tidak akan bisa mengambil pelajaran apapun dari masa lalunya. Baik itu kesuksesan ataupun kegagalan yang pernah dilewati di masa lalunya.

Inung menyoroti tajam peristiwa penjatuhan Gus Dur dari kursi presiden. Menurutnya, kisah penggulingan kekuasaan ini harus ditulis apa adanya. Sebab jika tidak, maka generasi mendatang akan membenarkan narasi yang selama ini didominasi para politisi yang cenderung memutarbalikkan fakta. Bahwa, Presiden RI ke-4 diberhentikan MPR karena tersangkut kasus korupsi Brunei Gate dan Bulog Gate. “Itu laknat banget menurut saya. Itu kejam. Itu narasi sejarah bajingan,” tegasnya.

Inung menambahkan, narasi yang tidak berdasarkan pada fakta tersebut memang sangat kejam. Sebab faktanya, Gus Dur dijatuhkan karena proses politik. Bukan proses hukum. Akan tetapi, yang jauh lebih kejam lagi adalah manakala NU yang memiliki ratusan ribu lembaga pendidikan turut membenarkan dan bahkan mengajarkan narasi seperti itu. Karena itu, NU dan seluruh perangkat kelembagaan dan kulturalnya harus berani menulis sendiri sejarah tersebut.

Salah satu upaya untuk menuliskan sendiri sejarah itu adalah buku berjudul Goro-Goro Menjerat Gus Dur. Sebagai editor, Inung mengakui bahwa buku itu ditulis bersama beberapa penulis lainnya dengan tujuan menjaga riak-riak dan gelombang yang diakibatkan terbitnya buku berjudul Menjerat Gus Dur karya Virdika Rizky Utama. “Buku itu ibarat batu yang dilempar ke dalam air. Dia akan memunculkan riak dan gelombang. Nah, buku kami ini ingin menjaga riak-riak dan gelombang itu. Kami semua para penulis, tidak mengambil keuntungan materi sepeserpun dari hasil penjualan buku ini,” tandasnya.

Selain terus menggelorakan diskusi seputar penjatuhan Gus Dur, dalam seminar tersebut juga muncul desakan pentingnya memasukkan materi ini sebagai kurikulum pendidikan dan pengajaran. Setidaknya di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan atau berbasis NU. Selain jalur kultural melalui kajian, jalur pendidikan melalui kurikulum, juga diperlukan desakan politik melalui jalur kelembagaan formal.

 

Reporter/Editor : Lege

 

 

Informasi terkait:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *