Belakangan ini santer riuh pro kontra atas orasi kebangsaan Gus Miftah di Gereja Bethel Indonesia. Seperti tanggapan Ustad Abdul Somad dan Ustad Adi Hidayat yang menganggap Gus Miftah melenceng dari Islam karena berceramah di tempat ibadah agama lain, yang bukan tempat beribadah orang Islam sebagaimana semestinya. Selain itu, apa yang dipraktikan Gus Miftah dapat menggeser ketauhidannya sehingga bisa menyebabkan murtad dari Islam. Bahkan jauh lebih dari itu, Gus Miftah dituduh kafir dan sesat.
Kasus serupa, jauh sebelum Gus Miftah hal itu juga pernah dialami oleh Gus Dur yang berceramah di gereja. Ketua PBNU tahun 1984 ini juga tak lepas dari pro kontra yang mengiringinya. Selain kedua tokoh NU itu, seorang budayawan sekaligus intelektual muslim Cak Nun juga pernah melakukan hal yang sama. Bahkan Cak Nun dan grup musiknya “Kiai Kanjeng” melantukan sholawat dengan langgam khas nada-nada yang sering digunakan di gereja. Namun tak sedikit yang mengkritik apa yang dilakukan Cak Nun. Berbeda dengan ulama atau kiai NU, entah kenapa, apa-apa yang diperagakan sering mengundang pro ataupun kontra. Terlepas persaingan otoritas keagamaan antar organisasi Islam di Indonesia yang begitu banyak, baik yang kanan konservatif, liberal atau kiri, serta yang moderat seperti NU.
Memang, persoalan kafir mengkafirkan oleh sebagian kelompok Islam di Indonesia disebabkan karena seringkali memakai atau menggunakan simbol-simbol yang dianggap non Islam atau tidak seperti budaya Islam dari Arab atau tidak menyerupai kelompoknya. Kelompok yang sering mengkafirkan ialah kelompok Salafi Wahabi. Kelompok ini berasal dari Muhammad bin Abdil Wahhab yang merupakan pengikut Mazhab Imam Ahmad dan berakidah pengikut Ibnu Taimiyah.
Aksin Wijaya mengaggap kaum yang sering melakukan pelabelan bid’ah, kurafat dan kafir karena dilatarbelakangi persoalan pemahaman Islam dengan metode nalar dialektika dikotomis serta memahami Islam secara teosentris. Penggunaan metode tersebut hanya mengutamakan pada persoalan tauhid namun melupakan persoalan Islam secara kesuluruhan baik meliputi Islam, iman dan ihsan. Aksin menegaskan bahwa mereka hanya membangun trilogi teologinya (tauhid): (uluhiyah, rububiyah dan asma’ wa sifat) namun hanya pada uluhiyah-Nya yang menjadi ukuran utama atas kesejatian Islam dan menyampingkan kedua unsur rububiyah dan asma’ wa sifat. Bahkan secara praktis Teologi uluhiyah dijadikan atau dijelmakan dalam kehidupan nyata seperti dalam berbagai bentuk ibadah dengan ditopang formalisasi diberbagai aspek kehidupan sekaligus sebagai representasi sifat rububiyah-Nya. Dengan begitu menimbulkan mereka berwatak keras, konservatif bahkan intoleran.
Dalam memahami Islam, setidaknya perlu mendudukan kembali apa yang disebut ber-Islam dengan moderat dengan saling mengaitkan berbagai unsur trilogi: Islam, Iman dan Ihsan. Dan menjadikan ihsan sebagai puncak dalam beragama. Hal ini sejalan dengan trilogi agama yang menjadi pedoman organisasi besar Islam Indonesia yakni Nahdlatul Ulama’. Islam tidak sekedar perbuatan hati, namun juga praktik nyata dengan perilaku terpuji. Di mana ber-Islam berarti pemberi selamat, pembawa keselamatan serta membawa kedamaian.
Begitu juga dengan apa yang dilakukan oleh Gus Miftah, sebernarnya merupakan tindakan yang Islami. Kehadiranya di gereja bukan merubah ketauhidan atau mempercayai ketauhidan agama lain, namun sebaliknya, Gus Miftah mempraktikan bagaimana ber-Islam dengan menebar cinta, kasih sayang dan kelembutan seperti ber-Islam sebagaimana Nahdlatul Ulama’ yang menebar cinta dan kasih sayang serta menghormati sesama mausia dan berbagai pemeluk agama di Indonesia. Sikap moderat ber-Islam Gus Miftah tidak hanya ditebar di gereja saja, melainkan juga Gus Miftah hadir di ruang-ruang publik marginal lainnya seperti “dunia malam”. Kehadirannya bukan untuk mengkafirkan yang belum ber-Islam atau sedang melakukan maksiat, tetapi Gus Miftah berceramah untuk menyampaikan kesajatian Islam yang ramah.
Dampak dari praktik moderasi ber-Islam ala Gus Miftah dapat dilihat hasilnya, beberapa kalangan artis non-muslim datang kepadanya untuk hijrah ke Islam menjadi Muallaf contoh kecil seperti Deddy Corbuzier dan yang paling baru adalah satu keluarga berkebangsaan Amerika yang menghendaki untuk menjadi muallaf. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa Gus Miftah sebagai Kiai Islam Sejati penebar cinta dan kasih sayang dengan membumikan moderasi beragama ala ahlu sunnah wal jama’ah di Indonesia.
Abu Muslim
Pemerhati sosial keberagamaan, Alumni IAIN Ponorogo