
NU Online Ponorogo (2/3/2025) – Setiap datangnya Ramadhan, umat Islam diingatkan akan anugerah waktu yang penuh berkah. Pesan inilah yang mengemuka dalam pengajian rutin Ahad Pon di Masjid NU Ponorogo, yang dihadiri oleh Rois Syuriah PCNU Ponorogo, Ketua PCNU, Banom, tokoh agama, masyarakat, serta jamaah setia.
Di antara rangkaian acara yang diramaikan oleh grup Hadroh MI Ma’arif Lengkong Sukorejo.
KH. Tajul Mujahidin, menyampaikan tausiyah penuh hikmah tentang makna Ramadan dan cara menyambutnya dengan kesiapan hati.

Mengutip hadis riwayat Abu Hurairah, KH. Tajul Mujahidin mengingatkan bahwa Ramadan adalah bulan di mana pintu surga dibuka selebar-lebarnya, sementara pintu neraka ditutup. Namun, beliau menegaskan bahwa fasilitas ini tidak serta-merta bisa dinikmati oleh semua orang. “Hanya mereka yang berpuasa dengan ikhlas, menjaga lisan dari gibah, dan menghindari perbuatan yang mengurangi pahala puasa, yang akan meraih kemuliaan ini,” ujarnya diselingi canda khas pesantren. Setiap amal baik di bulan ini diganjar pahala berlipat hingga 700 kali, sehingga momentum ini harus dimanfaatkan untuk memperbanyak ibadah, baik wajib maupun sunah.
Ramadan, menurut KH. Tajul, terbagi menjadi tiga fase: 10 hari pertama sebagai fase rahmat, 10 hari pertengahan sebagai fase ampunan, dan 10 hari terakhir sebagai fase pembebasan dari api neraka. Di akhir Ramadan, terutama pada malam Lailatul Qadar, pahala ibadah bahkan melampaui nilai seribu bulan. Inilah yang mendasari tradisi salat Tarawih 23 rakaat di kalangan Nahdliyin, sebagai bentuk optimasi ibadah di malam-malam penuh kemuliaan.
Dalam tausiyahnya, KH. Tajul juga menyentuh dinamika rumah tangga. Dengan gaya khasnya, beliau mengibaratkan perempuan memiliki “sembilan nafsu dan satu akal”, sementara laki-laki “sembilan akal dan satu nafsu”. Metafora ini bukan untuk merendahkan, melainkan mengajak pasangan suami-istri saling melengkapi. Dengan memahami perbedaan ini, rumah tangga bisa mencapai sakinah (ketenteraman) melalui komunikasi yang harmonis dan saling menghargai.

Di tengah godaan dunia modern, KH. Tajul mengingatkan pentingnya menjauhi maksiat, termasuk kebiasaan “main HP” yang kerap menyita waktu. Beliau mengajak jamaah untuk mengganti aktivitas tidak produktif dengan ibadah, sedekah, atau membaca Al-Qur’an. “Tidur saja berpahala jika niatnya untuk kuat beribadah, asal jangan sampai kebablasan,” selorohnya. Pesan ini relevan di era digital, di banyak orang terjebak dalam scroll media sosial tanpa makna.
Pengampunan Allah, menurut KH. Tajul, “diobral” di bulan Ramadan. Karena itu, momen ini harus dimanfaatkan untuk introspeksi, memohon ampun, dan memperbaiki diri. Tidak hanya secara individual, Ramadan juga menjadi waktu tepat untuk memperkuat solidaritas sosial, seperti berbagi takjil atau membantu kaum dhuafa.

Pengajian Ahad Pon di Ponorogo ini mengingatkan kita bahwa Ramadan bukan sekadar ritual tahunan, melainkan kesempatan emas untuk transformasi spiritual dan sosial. Seperti pesan KH. Tajul Mujahidin, mari sambut Ramadan dengan gembira, isi dengan amal kebaikan, dan jadikan momentum ini sebagai “tangga” yang mengantarkan kita lebih dekat kepada rahmat-Nya. Selamat menyambut bulan suci, semoga kita semua menjadi pribadi yang lebih baik, di dalam dan luar Ramadan.
Kontributor: Nanang Diyanto/Jama’ah Ahad Pon Ponorogo