
NU Online Ponorogo – Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Ponorogo turut menghadiri acara Kick Off Hari Santri Nasional 2025 yang digelar di Auditorium Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya, Ahad (19/10/2025). PCNU Ponorogo hadir melalui perwakilan Katib, Ketua, dan Bendahara sebagai bentuk dukungan terhadap gerakan nasional Hari Santri.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf menegaskan bahwa Hari Santri bukan sekadar slogan, melainkan momentum konsolidasi seluruh kekuatan bangsa untuk menjaga dan merawat persatuan.
Gus Yahya, sapaan akrabnya, menyampaikan bahwa peringatan Hari Santri tahun ini menjadi refleksi penuh makna. Selain memperingati satu dekade penetapan Hari Santri sejak 2015, momen ini juga merupakan bentuk penghargaan terhadap eksistensi dan perjuangan kaum santri dalam lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Perayaan ini menegaskan semangat kebangsaan yang lahir dari Resolusi Jihad 1945 yang digelorakan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari,” ujarnya. Ia menyerukan pentingnya persatuan nasional untuk menghadapi berbagai tantangan global dan domestik.
Tahun ini, Hari Santri mengusung tema “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Mulia.” Menurut Gus Yahya, kemerdekaan Indonesia bukan sekadar peristiwa politik, tetapi juga tonggak peradaban manusia.
“Proklamasi Indonesia memang dibacakan di Jakarta, tetapi ujian kemerdekaannya justru terjadi di Surabaya. Dan itu dilakukan oleh santri,” tegasnya.
Ia menambahkan, tagline Hari Santri merupakan panggilan untuk konsolidasi persatuan bangsa. Dalam pidatonya, Gus Yahya juga mengapresiasi langkah Presiden Prabowo Subianto yang mendorong transformasi sistem dan manajemen keuangan negara demi kesejahteraan rakyat.
“Kebijakan besar itu butuh energi koheren yang besar, dan dukungan seluruh elemen bangsa. Karenanya, Hari Santri harus menjadi momentum kebersamaan nasional,” katanya.
Gus Yahya juga menyinggung sejumlah musibah yang menimpa dunia pesantren belakangan ini, termasuk tayangan televisi yang melecehkan pesantren dan kiai. Ia menyebut hal tersebut sebagai “kado pahit” yang justru memperkuat semangat konsolidasi bangsa.
“Kita marah bukan karena Lirboyo atau NU saja, tetapi karena penistaan terhadap kelompok identitas yang menjadi bagian dari keindonesiaan,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahaya perpecahan akibat penghinaan terhadap identitas bangsa dan menyerukan warga NU untuk lebih dulu bersatu sebagaimana pesan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dalam Muqaddimah Qanun Asasi:
“Masuklah ke dalam jam’iyyah ini dalam rukun dan bersatu, bukan hanya jasad, tapi juga ruh. Adanya masalah tidak boleh menjadi alasan untuk berpisah.”
Gus Yahya menekankan bahwa persatuan bukan berarti tanpa perbedaan, tetapi kemampuan untuk tetap bersama di tengah perbedaan.

Peringatan Hari Santri ke-10 ini menjadi momentum historis. Setelah satu dekade, santri diharapkan tetap berada di garda depan dalam menjaga kemerdekaan, memperkuat moral bangsa, serta mengawal peradaban mulia Indonesia.
Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Ponorogo, Dr. Idam Mustofa, M.Pd., yang hadir dalam kegiatan ini, menyampaikan apresiasinya terhadap pesan Gus Yahya.
“Pesan Gus Yahya sangat relevan dengan kondisi bangsa saat ini. Hari Santri bukan sekadar seremoni, tapi panggilan untuk merapatkan barisan, menjaga keutuhan, dan memperkuat semangat kebangsaan. Ini juga menjadi pengingat bagi seluruh kader NU Ponorogo untuk terus berkhidmah dengan ikhlas dan tangguh,” ungkapnya.
Ia menambahkan, semangat konsolidasi ini akan diterjemahkan dalam berbagai program dakwah, pendidikan, dan penguatan pesantren di Ponorogo.
Kontributor: Sahabat Media LTN