NU PONOROGO

Official Website PCNU Ponorogo

Otoritas Keagamaan Bergeser Dari Moderat Ke Radikal

Pengamat NU asal Belanda Martin Van Bruinessen saat menjadi narasumber dalam Annual Gus Dur Memorial Lecture 2020, Sabtu (19/12)

NU Online Ponorogo – Indonesia sedang mengalami perubahan besar. Salah satunya adalah di bidang otoritas keagamaan. Selama beberapa tahun terakhir, terjadi pergeseran dari otoritas keagamaan yang bersifat moderat menuju radikal. Pergeseran ini, di antaranya bisa dilihat dari kecenderungan bahwa pemimpin agama radikal lebih mudah mendapat dukungan dan simpati dibanding pemimpin agama yang moderat.

Demikian ditegaskan pengamat NU dari Belanda Martin Van Bruinessen saat menjadi narasumber dalam webinar bertajuk Annual Gus Dur Memorial Lecture 2020, Sabtu (19/12). “Wibawa PBNU dan PP Muhammadiyah mulai ditantang oleh warga NU dan warga Muhammadiyah di akar rumput yang mulai ketarik ke kelompok ini (radikal, Red). Kita bisa katakan bahwa mulai terjadi pergeseran dari pemimpin agama moderat ke pemimpin agama yang radikal,” tegasnya.

Diskusi secara online itu diselenggarakan oleh Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia dan disiarkan secara live melalui You Tube di 164 Channel yang merupakan akun resmi LTN PBNU. Diskusi ini bertema Gus Dur dan Perdamaian Bangsa untuk memperingati wafatnya Gus Dur (30 Desember 2009, Red). PBNU sendiri menandai bulan Desember sebagai ‘Bulan Gus Dur’.

Meski telah berpulang, peran dan pemikiran Gus Dur tetap menarik untuk selalu diperbincangkan. Banyak forum digelar untuk mengkaji dan menggali kembali pemikiran Gus Dur. Seperti yang dilakukan jejaring Gus Durian yang baru saja menggelar Temu Nasional secara daring selama 10 hari. Tepatnya dari tanggal 7-16 Desember 2020 lalu. “Dalam satu hari ada dua sampai tiga sesi. Masing-masing sesi rata-rata dua jam,” ungkap Dr. Murdianto, M.Si, Koordinator Gus Durian Ponorogo kepada NU Online Ponorogo.

Murdianto mengatakan, temu nasional jejaring Gus Durian ini digelar sebagai bentuk refleksi pemikiran-pemikiran Gus Dur untuk melakukan pembacaan situasi kekinian. Misalnya soal pendidikan kewargaan yang dipandang masih terlalu lemah. Akibtnya, proses politik yang terjadi cenderung hanya berorientasi pada kekuasaan, korup dan transaksional. “Padahal Gus Dur selalu menekankan kepemimpinan publik yang tasharruful imam ala ra’iyyah manuthun bilmaslahah (kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat, Red),” tegasnya.

Temu Nasional jaringan Gus Durian akhirnya menghasilkan 9 rekomendasi. Ke-9 rekomendasi itu adalah :

1. Menegakkan kembali prinsip negara yang melindungi semua warganya, tanpa memandang perbedaan agama, suku, dan ras serta mempraktikkan nilai kesetaraan bagi semua warga negara dalam praktik bernegara sesuai dengan konstitusi.

2. Memperkuat politik kewargaan dan mengawal terbukanya kembali diskursus tentang negara dan kewargaan. Masyarakat sipil perlu memperkuat basis sosial untuk menguatkan kontrol terhadap kekuasaan, agar struktur relasi dengan negara lebih transformatif sehingga posisi masyarakat sipil tidak semakin terkooptasi oleh negara.

3. Pemerintah dan DPR RI perlu mengagendakan pembahasan sejumlah RUU yang kontributif pada pemajuan HAM seperti RUU Perubahan UU ITE, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), RUU Perlindungan Masyarakat Adat, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan RUU Perubahan UU HAM. Pemerintah dan DPR RI harus melakukan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dan memperkuat Lembaga Nasional HAM (Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan KPAI). Masyarakat perlu membangun sistem kontrol jalannya pemerintahan baik pusat dan daerah, sehingga kebijakan-kebijakan yang ada melindungi mereka yang lemah atau dilemahkan dan inklusif.

4. Perlu adanya pembaharuan paradigma pendidikan terkait arah dan pengelolaan hingga perbaikan kultur lembaga dalam kolaborasinya dengan masyarakat. Hal tersebut perlu dilakukan agar sistem pendidikan Indonesia tidak lagi terdikte oleh kepentingan politik ekonomi global, melainkan konsisten pada dasar Pancasila, UUD 1945, nilai-nilai agama, dan budaya lokal untuk masa depan bangsa Indonesia yang sejahtera, damai, adil, dan beradab.

5. Mendorong konsep “Pribumisasi Islam” sebagai metodologi pemikiran dan strategi gerakan
sosial masyarakat untuk mewujudkan Indonesia berketuhanan, berkemanusiaan, bermartabat,
dan berkeadilan. Untuk itu, perlu disosialisasikan pandangan Pribumisasi Islam tentang manusia sebagai subjek dan objek dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.

6. Eksploitasi sumber daya alam telah mengakibatkan berbagai bencana yang berdampak pada
banyak aspek kehidupan masyarakat. Saat ini dunia menghadapi krisis global perubahan iklim.
Penyebab perubahan iklim adalah kenaikan emisi gas rumah kaca yang di antaranya disumbang oleh eksploitasi sumber daya alam dan konsumsi energi kotor. Oleh karena itu, perlu dilakukan percepatan transisi energi bersih di Indonesia, karena energi kotor—terutama energi batu bara—merupakan salah satu penyumbang terbesar krisis perubahan iklim skala global.

7. Perlu dibangun paradigma ekonomi yang berkelanjutan dan berbasis pada nilai kemanusiaan
dan keadilan lingkungan. Selama ini paradigma pembangunan lebih menekankan pada aspek pertumbuhan ekonomi yang hanya melayani kepentingan investasi tanpa mengindahkan aspek keadilan dan pemerataan, sehingga mengakibatkan eksploitasi besar-besaran atas sumber daya alam dan melahirkan ketidakadilan lingkungan (
environmental injustice).

8. Pemerintah perlu memperkuat ekonomi dan keuangan bagi kelompok lemah dengan mendorong kemudahan akses fasilitas-perkreditan-permodalan bagi UMKM. Pemerintah juga perlu melakukan upaya serius untuk memangkas ketimpangan ekonomi dan meningkatkan kemampuan daya beli rakyat. Pemerintah perlu memperkuat kebijakan untuk melindungi dan menumbuhkan sektor pertanian pangan, dan kelautan, serta mengembangkan perekonomian kreatif yang memfasilitasi rantai produksi dan distribusi perekonomian nasional.

9. Menjadikan perempuan, anak, dan keluarga sebagai isu penting yang harus direspons dengan serius oleh seluruh elemen bangsa sekaligus menjadikannya sebagai perspektif yang inheren dalam semua isu kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan. Perempuan, anak, dan keluarga harus diposisikan sebagai subjek dan aktor perubahan sosial. Karena itu perlu ada upaya mempromosikan narasi tentang perempuan, anak, dan keluarga yang berbasis pada nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan untuk membendung narasi-narasi serupa yang melanggengkan subordinasi dan ketidakadilan pada perempuan dan anak. Perlu juga melakukan gerakan literasi kontekstual dan hukum agar masyarakat memiliki daya kritis dan mampu menghadapi persoalan hukum yang berkaitan dengan isu tersebut

 

Reporter/Editor : Lege

 

Informasi terkait:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *