NU PONOROGO

Official Website PCNU Ponorogo

Pasar Malam Ponorogo: Tarian Tradisi di Tengah Riuh Kemajuan

Bianglala, wahana khas pasar malam yang telah turun menurun.

NU Online Ponorogo, (14/3/2025) —Dua hari sebelum pembukaan resmi pasar malam Ramadan oleh Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko, alun-alun sudah ramai oleh riuh persiapan. Lumpur bekas hujan menggenang di lapangan yang tidak berpaving, tapi puluhan pedagang tak gentar. Mereka sibuk merakit stan, memasang lampu kerlap-kerlip, dan menyusun barang dagangan.

Di tengah becek, tawa anak-anak yang menyaksikan penataan wahana permainan bersahutan dengan dentuman musik uji coba. Antusiasme ini bukan sekadar persiapan bisnis, melainkan napas kebanggaan warga Ponorogo menyambut ritual tahunan yang telah mengakar sejak abad ke-19.

Azam (Jambul), pemuda asli Ponorogo yang menjadi pengusaha musiman dan berpindah pindah dengan omset ratusan juta.

Azam (27), pemuda asli Ponorogo, sedang menata loket terakhir salah satu dari lima wahana permainannya. Dengan menyewa dua kapling seharga Rp80 juta, ia yakin ini investasi yang tepat. “Dulu 70% pedagang di sini dari luar kota, terutama Solo. Sekarang kami bisa rebut panggungβ€”60% stan dipegang lokal,” ujarnya bangga. Di sisi barat alun-alun yang berpaving, stan-stan milik warga Ponorogo berjejal menjual mainan hingga kuliner. Sementara di timur, pedagang dari Solo, Kediri atau Madiun masih mendominasi lapak gerabah dan perlengkapan rumah tangga.

Keyakinan Azan bukan tanpa dasar. Setelah dua tahun sepi pandemi, ia mempekerjakan delapan karyawan untuk mengelola wahana seperti mandi bola seluncur, helikopter an, bombocare, dan komedi putar. “Masyarakat sudah berani keluar lagi. Saya optimis bisa balik modal,” tambahnya. Semangat serupa terlihat pada pedagang lain: stand sate kelinci, kaos bergambar reyog, hingga jajanan tahu petis (kue tradisional) dipadati pembeli meski pasar malam belum resmi dibuka.

Namun, tidak semua kisah berakhir optimis. Di sudut alun-alun barat dekat pintu masjid Agung , Shoib (25) duduk sendirian di stan celengan tanah liat warisan ayahnya. “Dulu ayah punya empat stan gerabah. Sekarang tinggal dua, itu pun sepi,” keluhnya. Sejak peralatan plastik dan keramik modern merebak, pembeli gerabah tinggal para kolektor atau generasi tua yang ingin bernostalgia. Ayahnya yang setia menunggu stan kini lebih memilih bertani di Bojonegoro. “Saya tetap di sini demi menjaga warisan. Tapi entah sampai kapan,” ujarnya sembari menatap celengan berbentuk ayam jago yang tak tersentuh pembeli.

Wahana milik Azam di sisi barat alun-alun

Keramaian ini adalah warisan Bupati Martohadinegoro, yang pada 1830-an memindahkan pusat kota ke Mangkujayan. Alun-alun sengaja dirancang sebagai ruang hiburan rakyat, bukan lapangan seremonial, atau taman.

Keramaian alun-alun menjadi puncaknya ketika bupati Tjokronegoro (dari keraton Surakarta) menjabat, beliau merupakan keturunan Surakarta dan Ponorogo (cicit Kyai Moh Besari Tegalsari). Beliau mengadopsi alun-alun Keraton Surakarta, baik bentuk dan jenis keramain, maupun saat-saat (waktu) keramaian yaitu pada hari-hari besar Islam. Dan model keramaian tersebut dengan masih adanya tradisi pasar malam sampai saat ini, dimana para pedagang dan jenis hiburannya mirip di Surakarta. .

“Durung bodho yen durung menyang alun-alun (Belum disebut Lebaran jika belum ke alun-alun),” begitu prinsip warga yang turun-temurun.

Remaja yang lekat dengan sosmed, menjadikan wahana sebagai konten

Geliat ekonomi dan budaya ini tak lepas dari konsekuensi. Alun-alun yang terletak di jalur provinsi penghubung Pacitan-Trenggalek-Wonogiri itu kerap macet parah. Jarak 1,5 km bisa ditempuh dua jam saat puncak keramaian. Pernah dicoba langkah alternatif pasar malam dipindahkan Stadion Batoro Katong jaman bupati Soemani namun gagal total. “Pedagang protes karena sepi pengunjung. Akhirnya balik lagi ke alun-alun,” kenang Sudarmaji, pengelola parkir.

Persoalan lain adalah sampah. Alun-alun yang biasa bersih dan hijau kini dipenuhi bungkus makanan dan botol plastik, meski petugas kebersihan disiagakan 2 shift oleh Pemda. Karena kesadaran pengunjung masih rendah. “Kami sediakan 20 petugas kebersihan, tapi tetap kewalahan,” aku petugas kebersihan yang sedang bertugas.

Di sisi budaya, Pemda memperkuat pagelaran seni lokal tadarus budaya besuk Ahad malem Senen di depan patung macan, dengan menampilkan puluhan dadak merak. Panggung selatan alun-alun yang biasa dipakai festival reyog, kali ini dipakai pameran UMKM dan pameran seni. “Ini cara kami mempertahankan tradisi sekaligus memberi ruang pada generasi muda,” ujar Anindya, salah satu panitia.

Bagi Ponorogo, pasar malam bukan sekadar urusan ekonomi. Ia adalah ruang ingatan di mana tiga generasiβ€”kakek, ayah, dan anakβ€”bisa tertawa bersama naik komedi putar yang sama. Di sini, dentuman musik dangdut koplo bersaing dengan suara tadarus ramadhan masjid agung, sementara aroma sate kelinci berbaur dengan asap rokok elektrik.

Kemacetan dan sampah mungkin adalah harga yang harus dibayar. Tapi seperti kata Azam sambil menatap kerumunan anak-anak yang antre di stannya, “Yang penting kami tetap bisa berkumpul. Di sini, kami merasa jadi satu keluarga besar.” Sebuah filosofi yang mungkin tak akan pernah tergantikan oleh modernitas, seperti alun-alun itu sendiri, yang tetap berdiri meski zaman terus berubah.

Di tengah riuh pasar malam, Ponorogo mengajarkan satu hal: tradisi tak harus mati. Ia hanya perlu belajar menari di antara terpaan zaman. Dan alun-alun, dengan segala kemelutnya, tetap menjadi lantai tari yang paling dirindukana.

Kontributor: Nanang Diyanto/ LKNU

Informasi terkait:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Selamat Menjalankan Ibadah Puasa 1446 H