
NUonline Ponorogo- Tradisi Muludan (Maulid Nabi Muhammad SAW) di Masjid Amirudin Sembung, Gadu, Mlarak, Ponorogo, Kamis (29/10/2020) berlangsung sakral dan penuh suka cita. Hal itu nampak pada saat pembacaan Al Barjanji, Mahalul Qiyam, selamaten dan penebaran uang koin di serambi Masjid, yang diperebutkan anak-anak kecil, sambil bersholawat.
Ahmad Subki tokoh masjid setempat mengatakan acara yang digelar mulai dari pukul 07:00 WIB sampai pukul 10:00 WIB dengan selamaten (Kenduri), kemudian dilanjutkan dengan sholat dzuhur berjama’ah lalu pembacaan AL Barjanji dan mahahul qiyam berlangsung cukup hidmat.

“Kemudian suka cita, ketika ada pembagian koin sambil sholawatan di serambi Masjid,” katanya.
Kalibek, sapaan akrab mantan Kasatkorcab Banser Ponorogo dan kini masih aktif menjadi Dewan Instruktur PW GP Ansor Jawa Timur tersebut mengungkap tradisi tersebut merupakan pembawaan eyangnya Kiai Ageng Muhammad Besari yang juga di budayakan di Masjidnya.
“Tradisi turun-temurun ini, di Mulai dari Masjid Tegalsari, Ponorogo,” jelasnya.

Ia menambahkan dalam gelaran tersebut di pimpin langsung oleh kiai Slamet Zuhdi, salah satu masyayikh pondok pesantren Al Islam Joresan. Kemudian untuk tumpeng dan ambengan didapatkan dari Jama’ah Masjid Amirudin Sembung.
“Jadi lengkap dengan lauk pauk, ingkung dan lain-lain dan banyak sekali,” pungkas Kalibek.
Pengajian dan Ambengan
Sehari sebelumnya, Rabu (28/10) selepas Isya’ NU online Ponorogo berhasil memantau warna lain tradisi maulidan. Di Kutu Kulon Jetis, Takmir Masjid Baitul Muttaqin bekerjasama dengan TPQ Nahdlatul Ummah menggelar pengajian dalam rangka peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. Tampil sebagai pembicara Kyai Suraji Hasan dari Kutu Kulon. Sebelum itu, Kyai Misdiono diikuti seluruh jamaah membaca tahlil dan doa dilanjutkan mahalul qiyam.
Di waktu yang sama warna lain dari tradisi maulidan yang lebih bernuansa kultural berlangsung di Jenes dan Baosan Lor. Di Jenes, masyarakat sekitar pondok pesantren Hudatul Muna berbondong-bondong datang ke madjid milik pesantren itu dengan membawa ambeng. Di situ mereka membaca tahlil dan mahalul qiyam, lalu menyantap nasi ambeng.
“Tradisi ini sudah berlangsung lama. Tanpa ada yang menyuruh warga datang sendiri membawa ambeng setiap datang malam 12 Rabiul Awal,” ungkap Gus Aul salah satu anggota keluarga besar pondok Hudatul Muna.

Hal yang sama juga terjadi di masjid Baosan Lor Ngrayun. Tanpa ada yang mengkoordinir, warga datang sendiri membawa ambeng untuk kenduri maulidan. Berbeda dengan Jenes, di Baosan Lor selain kenduri jamaah juga mengikuti tahlilan dan pengajian.
“Tentu ini bisa dimanfaatkan sebagai dakwah. Takmir masjid mengadakan tahlilan dan pengajian sebagai acara inti,” terang Dasiran Takmir masjid Darussalam Baosan Lor. (dam)
Reporter : idam
Editor : budi