
NU Online Ponorogo (7/3/2025) —-Dalam tradisi Islam, berbakti kepada orang tua (birrul walidain) bukan sekadar ajaran moral, melainkan fondasi iman yang setara dengan tauhid.
Dalam pengajian Ramadhan di Masjid NU Ponorogo, Kyai Nur Sholihin Al-Hafidz mengingatkan, “Jangan menyekutukan Allah, lalu berbuat baiklah kepada orang tua.”
Pesan ini menggemakan firman Allah dalam QS. Al-Isra: 23-24, yang menempatkan birrul walidain setelah larangan syirik. Namun, realitas hari ini kerap terbalik: banyak orang rajin sholat, haji, atau bersedekah, tetapi lalai menenangkan hati orang tua.
Kisah sahabat yang bertanya kepada Nabi Muhammad SAW menjadi renungan mendalam. “Apa pendapat Rasulullah tentang orang yang rajin sholat, puasa, zakat, dan haji?” tanya sahabat.
Nabi menjawab, “Mereka akan berkumpul dengan para nabi, ulama, dan syuhada—kecuali jika mereka durhaka kepada orang tua.” (HR. Bukhari).
Hadis ini menegaskan bahwa ridha orang tua adalah “tiket” menuju surga, sementara durhaka bisa menggugurkan pahala ibadah mahdhah.
Dalam riwayat lain, Nabi SAW bersabda, “Berbakti kepada orang tua lebih utama daripada sholat sunah, jihad, dan haji.” (HR. Thabrani).
Ini bukan berarti ibadah ritual tak penting, melainkan pengingat bahwa kebaikan kepada orang tua adalah tolok ukur keimanan. Seperti diingatkan Kyai Sholihin, “Sukses duniawi tak menjamin kebahagiaan orang tua.
Yang membuat mereka “marem” (tenang) adalah iman dan akhlak anak.”

Kisah Alqamah, pemuda ahli ibadah yang gagal mengucap syahadat saat sakaratul maut karena ibunya kecewa, menjadi cermin nyata.
Nabi SAW meminta ibunya memaafkan Alqamah yang lebih memprioritaskan istri daripada sang ibu.
Barulah setelah pengampunan itu, Alqamah wafat dengan khusnul khatimah.
Kisah ini relevan dengan realitas saat ini: banyak anak “taat beragama” tetapi egois dalam hubungan keluarga.
Mereka pergi umrah berulang kali, tetapi pelit perhatian kepada orang tua yang renta.
Sayidina Umar bin Khattab juga mengingatkan seorang sahabat yang membanggakan diri menggendong ibunya yang tua. “Ibumu dulu menggendongmu dengan harap kau hidup.
Kau menggendongnya dengan harap ia segera mati,” tegas Umar. Di sini, Umar menekankan niat: orang tua merawat anak dengan cinta tanpa syarat, sementara anak sering merawat orang tua dengan beban dan keluh kesah.
Di tengah budaya individualis dan materialis, merawat orang tua yang sakit atau renta menjadi ujian keimanan. Nabi SAW bersabda, “Keridhaan Allah ada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan-Nya ada pada kemurkaan mereka.” (HR. Tirmidzi).
Merawat mereka di masa senja adalah balasan atas pengorbanan mereka mengasuh kita saat bayi.
Namun, tak sedikit anak yang justru mengeluh, “Repot rawat orang tua, lebih baik bayarkan perawat.” Padahal, pahala merawat orang tua tak tergantikan oleh uang.

Kyai Sholihin menegaskan, “Bersedekah atas nama orang tua memang berpahala, tetapi pahala terbesar justru datang saat kita membahagiakan mereka langsung.” Ibadah sosial ini mengajarkan bahwa keharmonisan keluarga adalah cermin keharmonisan spiritual.
Di akhir hayat, manusia tak akan ditanya berapa kali ia haji atau sholat malam, tetapi apakah ia meninggalkan orang tua dalam keadaan kecewa.
Pesan Kyai Sholihin pada Ngaji Ramadhan di Masjid NU Ponorogo mengingatkan kita semua: berbakti kepada orang tua adalah ibadah yang tak tergantikan.
Sebagaimana sabda Nabi, “Surga di bawah telapak kaki ibu.” (HR. Ahmad). Di era yang mengagungkan kesuksesan material, birrul walidain adalah pengingat: kebahagiaan sejati terletak pada keikhlasan memberi dan merawat.
Sebagai penutup, Kyai Sholihin mengajak merenungkan nasihat Lukman Al-Hakim: “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” (QS. Luqman: 14). Merawat orang tua bukan hanya kewajiban, tetapi jalan meraih cinta Allah—sebab ridha-Nya bersemi dari senyum dan ketenangan hati mereka.
Kontributor: Nanang Diyanto/Masjid NU Ponorogo