
NU Online Ponorogo, 16 Maret 2025 – Ribuan penonton memadati Alun-Alun Ponorogo pada Sabtu (15/3/2025) malam, menyaksikan gelaran “Tadarus Budaya ke-4” yang menyatukan semangat Ramadan dengan kekayaan tradisi Reog Ponorogo. Acara tahunan ini, yang digelar setiap 15 Ramadan, sekaligus menandai pembukaan Pasar Ramadhan (Pasar Malam) ikonik kota tersebut, warisan budaya sejak era Bupati pertama Ponorogo, Raden Haryo Mertonegoro.

Sebanyak 48 grup Reog dengan 100 dadak merak dari Ponorogo dan daerah lain seperti Surabaya, Madiun, Wonogiri, Yogyakarta, Semarang, hingga Kudus turut meramaikan acara. Tak hanya menampilkan tarian penuh energi, gelaran ini juga diselingi tausiyah keagamaan, mencerminkan harmoni antara tradisi lokal dan nilai spiritual.
“Tadarus Budaya adalah simbol kekuatan lembut Ponorogo: santri dan budaya bersatu,” ujar Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko. “Ini bukan sekadar pagelaran, tapi upaya membangun identitas Ponorogo sebagai kota religi dan budaya yang partisipatif,” tambahnya.

Uniknya, acara ini digerakkan secara mandiri oleh komunitas Reog tanpa anggaran APBD. Menurut Sugiri, inisiatif ini lahir dari kecintaan para seniman pada Reog sekaligus bentuk syukur setelah UNESCO menetapkannya sebagai “Warisan Budaya Tak Benda” pada 2024.
“Tadarus Budaya awalnya adalah protes saat Reog hampir diklaim negara lain. Kini, ia menjadi kebanggaan global,” jelasnya.

Pengakuan UNESCO telah mendongkrak permintaan peralatan Reog. Sugeng Begenk, perajin reog sekaligus atribut Reog, mengungkapkan pesanan tahun ini melonjak dua kali lipat. “Bahan seperti bulu merak semakin langka, tapi pemasaran digital memudahkan distribusi hingga ke Malaysia,” ujarnya. Geliat ini menandai kebangkitan ekonomi kreatif pascapandemi. Kali ini Sugeng Begenx mengirimkan 1 dadak merak koleksinya ndalan tadarus budaya.
Usai salat Tarawih, jalanan di sekitar Paseban Alun-Alun hingga Pendopo Kabupaten dipadati penonton yang mayoritas mengenakan pakaian hitam, atribut khas Reog. Antusiasme ini menunjukkan bahwa Reog tak hanya lestari, tapi juga menjadi pemersatu masyarakat.
Bupati Sugiri menegaskan, kolaborasi budaya dan agama akan terus jadi prioritas. “Reog adalah simbol kebersamaan. Ini modal kami membangun Ponorogo yang inklusif,” tegasnya. Dengan semangat serupa, Ponorogo bertekad menjadikan warisan budaya sebagai pondasi kemajuan daerah.
Kontributor: Nanang Diyanto/LKNU Ponorogo